Tampilkan postingan dengan label Jalaluddin Rakhmat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jalaluddin Rakhmat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Januari 2009

Pencerahan

PERANAN TUNTUTAN SITUASI DALAM MEMAHAMI HUKUM ISLAM
oleh Jalaluddin Rakhmat

Jika saya mendepositokan uang saya di bank, bolehkah saya
menerima bunga depositonya? Apakah bunga deposito itu sama.
dengan riba? Tanyalah ulama yang Anda kenal, dari golongan apa
saja. Ada tiga kemungkinan jawaban: boleh, tidak boleh, tidak
tahu. Anehnya bila golongan yang ditanya --Muhammadiyah,
Persis, NU jawabannya satu. Semua golongan itu sepakat (ijma')
untuk menyimpan uangnya di bank dan memanfaatkan bunganya,
tentu saja bagi kepentingan umat Islam. Bila diminta fatwa
lisan atau tulisan, verba non acta, sekali lagi jawabannya
akan beragam. Kebanyakan di antara umat Islam masih belum
mendapat jawaban yang tegas dan memuaskan.

Ulama yang ditanya itu memang mengalami kemusykilan. Deposito
dan bunganya tidak dikenal di zaman Rasulullah saw. Mereka
tidak menemukan nash --teks al-Qur'an atau Hadits-- yang
menerangkan ketentuan hukum untuk deposito. Ada memang
ketentuan tentang riba, tapi apakah riba sama dengan bunga
deposito?

Kemusykilan seperti itu telah dihadapi para ulama sepanjang
sejarah. Yang kita sebut syari'at pada mulanya hanya
menyangkut masalah keluarga, perdagangan yang sederhana dan
hukum pidana. Ketika Islam bertemu dengan peradaban-peradaban
lain, apa yang tercakup dalam syari'at menjadi lebih luas.
Para ulama merumuskan syari'at dalam bentuk fiqh yang mengatur
bidang-bidang kehidupan yang lebih kompleks. Menurut
al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, ketika dinasti
Umayyah bertemu dengan kebudayaan Persia, mereka menemukan
lembaga yang menyelesaikan urusan orang-orang yang dizalimi.
Lembaga ini tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah, tapi
mereka menganggap lembaga ini sangat bagus. Kemudian penguasa
Umayyah mengukuhkan lembaga itu dan menamainya Dewan Mazhalim.
Mereka bukan saja menganggap dewan ini tidak bertentangan
dengan syar'i, tapi bahkan memelihara tujuan syar'i.

Secara berangsur-angsur, para ulama mengembangkan metode
istinbath (menarik kesimpulan hukum) baik berdasarkan
kaidah-kaidah atau petunjuk umum dalam nash maupun dari
penggunaan akal. Di antara metode-metode itu adalah qiyas,
istihsan dan istishlah. Semua metode ini hanyalah upaya
memecahkan persoalan. Studi kritis terhadapnya akan segera
membuktikan bahwa penggunaan metode-metode tersebut juga
menimbulkan persoalan. Tidak ada kesepakatan ulama mengenai
kebolehan menggunakan masing-masing di antara ketiga hal itu.
Sebagian menerimanya, sebagian menolakaya. Tidak jarang
perbedaan itu muncul karena perbedaan pemaknaan
istilah-istilah itu. Syafi'i, misalnya, menyerang istihsan dan
menganggapnya sebagai usaha untuk membuat syari'at (man
istahsana fa qad syara'a). Maliki dan Hanafi memandang
istihsan bahkan harus didahulukan dari qiyas. Malik menyebut
istihsan sebagai sembilan persepuluh ilmu (Al-istihsan tis'at
a'syar al-'ilm). Tapi ketika Syafi'i menyerang istihsan
seperti yang dimaknakan olehnya, ia menggunakan metode qiyas
khafi, yang tidak lain daripada istihsan menurut mazhab
Hanafi.

Tulisan ini akan dimulai dengan mencoba menyelesaikan kemelut
makna istihsan dan istishlah dan diakhiri dengan petunjuk
praktis penggunaannya dalam menjawab tuntutan situasi sekarang
ini. Namun sebelum itu, sebagai pengantar, saya kutipkan
penjelasan Sayyid Musa Tuwanat: [1]

Bila mujtahid tidak menemukan hukum dalam al-Qur'an, Sunnah,
ijma' dan pendapat para sahabat, atau tidak ada yang dapat
dijadikan hujjah dari pendapat-pendapat mereka, ia bersandar
kepada qiyas. Inilah yang ditetapkan oleh Imam Syafi'i dan
ditegaskan al-Syirazi dan al-Maqdisi. Begitu pula para
pengikut Hanafi yang membahas qiyas sesudah al-Kitab, Sunnah
dan ijma. Imam Malik juga mengambil qiyas, tapi sesudah
mengambil mashalih mursalah dan istihsan. Imam Ahmad pun
bersandar kepada qiyas dengan syarat sesudah meninjau hukum
itu dalam al-Qur'an dan Hadits dalam maknanya yang lebih luas,
walaupun ia berbeda dari mujtahidin lainnya dalam cara dan
cakupan penggunaan qiyas.

Tidak ada madzhab yang menolak penggunaan istihsan kecuali
madzhab Dzahiriyah dan Syi'ah. Adapun cara menggunakan qiyas
sebagai berikut: Seorang mujtahidin melakukan penelitian
apakah ada dalil yang menunjukkan dalil tentang illat untuk
menentukan hukum far'. [2] Bila illat itu diketahui dengan
menggunakan cara-cara yang dikenal dalam kitab ushul dan ada
hubungan antara illat ini dengan kasus yang akan ditetapkan
hukumnya, dan sudah ditegaskan hubungannya disamakanlah hukum
yang asal dengan far' berdasarkan kesamaan illat seperti yang
dipahaminya.

Kadang-kadang mujtahid meninggalkan satu dalil kepada dalil
yang lebih kuat, atau kepada maslahat, atau meninggalkan qiyas
kepada atsar, atau kepada ijma' atau kepada dharurat.
Kadang-kadang qiyas ditinggalkan karena ada dalil yang kuat
atsarnya. Dalam semua keadaan itu, ia tidak keluar dari upaya
menjalankan nash, atau qiyas, atau mashlahat. Yang demikian
itu disebut istihsan.

PENGERTIAN ISTIHSAN

Secara denotatif, istihsan artinya memandang baik terhadap
sesuatu. Pendirian Dewan Madzalim dipandang baik; artinya,
harus dilakukan berdasarkan istihsan. Menarik sekali, para
ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari
al-Qur'an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam
pengertian denotatif ini (yaitu, orang-orang yang mendengarkan
kata dan diturutinya yang paling baik, Q.s al-Zumar: 18; "Dan
turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu", al-Zumar: 55; "Apa yang dianggap kaum
Muslim baik, menurut Allah baik juga," --Hadits menurut
riwayat Abdullah bin Mas'ud.

Bila kita mengacu pada literatur, kita akan menemukan banyak
sekali definisi istihsan --yang tidak selalu menunjukkan
referensi yang sama. Ada definisi yang dibuat dengan
memperhatikan segi-segi politis dan bukan segi-segi ilmiahnya.
Untuk menunjukkan bagaimana definisi-definisi itu lebih banyak
menyulitkan daripada membantu, kita lihat contoh di bawah ini:

1. Istihsan adalah meninggalkan qiyas untuk mengambil yang
lebih sesuai dengan orang banyak.

2. Istihsan adalah mencari kemudahan dari hukum-hukum yang
dihadapi orang banyak atau orang tertentu.

3. Istihsan adalah mengambil keluasan dan mencari kelegaan.

4. Istihsan adalah mengambil yang permisif dan memilih yang di
dalamnya ada ketenangan (semuanya dari al-Sarkhashi).

5. Istihsan artinya meninggalkan kepastian qiyas kepada qiyas
yang lebih kuat atau mentakhshiskan qiyas dengan dalil yang
lebih kuat (al-Bazdawi dari madzhab Hanafi).

6. Istihsan artinya mengamalkan yang lebih kuat di antara dua
dalil (al-Syathibi dari madzhab Maliki).

7. Istihsan artinya meninggalkan hukum masalah dari yang
semacamnya karena dalil syara' yang tertentu (al-Thufi dari
madzhab Hambali).

8. Istihsan adalah apa yang dipandang baik oleh mujtahid
dengan akalnya. [3]

Karena kita mengalami kesulitan memahami istihsan dari
berbagai definisi itu, marilah kita ambil contoh kasus yang
oleh para mujtahid disebut sebagai istihsan. Melihat aurat
perempuan yang bukan muhrim haram, karena dapat menimbulkan
"fitnah" (membawa orang kepada kemaksiatan). Yang dalam kurung
itu disebut 'illat yang sangat jelas (kita sekarang sedang
melakukan qiyas jaliy). Bagaimana hukumnya seorang dokter yang
harus memeriksa pasien wanitanya? Bila ia tidak melihat
auratnya, ia tak bisa menolong pasien itu dengan baik. Ia
harus menolong pasien itu untuk mengembalikan kesehatannya,
untuk kemaslahatan pasiennya. Tapi alasan ('illat) ini hanya
dalam kasus pasien saja dan dianggap tegas (kita sedang
melakukan qiyas khafiy). Bila kita meninggalkan qiyas jaliy
dan mengambil qiyas khafiy, kita melakukan istihsan.

Kadang-kadang seorang mujtahid meninggalkan qiyas karena
menemukan hadits yang lebih kuat, atau karena memperhatikan
kemaslahatan, atau karena 'urf (adat kebiasaan yang sudah
lazim). Bila kita memperhatikan praktek-praktek yang disebut
istihsan, kita menemukan istihsan dalam tiga pengertian:

Pertama, istihsan berarti memilih yang lebih kuat di antara
dua dalil yang bertentangan atau berbeda (berikhtilaf). Boleh
jadi ikhtilaf di antara dua dalil lafzhi --yakni dalil yang
diambil dari al-Qur'an dan Sunnah. Atau ikhtilaf di antara dua
dalil ghair lafzhi; misalnya, antara qiyas jaliy dengan qiyas
khafiy. Atau ikhtilaf di antara dalil lafzhi dan ghair lafzhi.

Marilah kita mulai dengan ikhtilaf di antara dua dalil lafzhi.
Dalam hal ini, ikhtilaf dapat berupa tazakam dan ta'arudh.
Yang dimaksud dengan Tazabum adalah pembenaran dua hukum yang
berasal dari syara', yang tidak mungkin digabungkan. Ta'arudh
artinya perbedaan hukum karena perbedaan kasus (ikhtilaf
shawar al-masalah).

Kita melakukan istihsan bila kita mentarjih (menganggap lebih
baik) salah satu di antaranya. Sambil memberikan
contoh-contohnya, saya akan menunjukkan petunjuk-petunjuk
praktis penggunaan istihsan pada tazahum dan ta'arudh.

(1) Dulukan hukum yang mendesak (mudhiq) di atas hukum yang
memberikan kelonggaran (musi'). Misalnya, antara menghilangkan
najis di masjid dengan melakukan shalat pada awal waktunya,
atau antara menolong orang yang celaka dengan melakukan shalat
Jum'at. Pilihlah menghilangkan najis dan menolong orang yang
celaka.

(2) Dulukan yang tidak ada penggantinya dengan yang ada
penggantinya. Misalnya, menggunakan air untuk memuaskan rasa
haus atau untuk berwudhu'. Wudhu' itu ada penggantinya, yaitu
tayammum. Tapi memuaskan haus tidak bisa diganti dengan batu.

(3) Dulukan yang sudah tertentu (mu'ayyan) di atas urusan yang
memberikan alternatif (mukhayyar). Misalnya memenuhi nadzar
atau membayar kifarat. Anda bernadzar untuk memberikan makanan
bagi orang miskin, tapi juga Anda harus membayar kifarat
puasa.

(4) Dulukan yang lebih penting dari pada yang penting. Anda
wajib melakukan haji dan pada saat yang sama Anda harus
membayar hutang. Bayarlah hutang Anda lebih dulu.

Ta'arudh terjadi kalau ada dua dalil syara' yang bertentangan.
Para ulama ushul mengusulkan beberapa cara, yang tidak dapat
kita perinci satu per satu: mendulukan yang mutlak di atas
yang muqayyad, takhshish di atas 'am, nasikh di atas mansukh,
hakim di atas mahkum, al-Qur'an di atas Sunnah, yang
disepakati di atas yang diikhtilafi.

Kedua, istihsan berarti mengambil sesuatu yang sudah dipandang
baik oleh 'urf atau akal. Misalnya, mencatat pernikahan di
kantor departemen Agama. Istihsan dalam arti ini harus
dilakukan dengan sangat hati-hati. Karena apa yang dipandang
baik 'urf atau akal itu boleh jadi sangat subyektif, sehingga
besar kemungkinan mengikuti bias-bias sosio-psikologis. Kita
juga tidak cukup waktu membicarakan hal ini.

Ketiga, istihsan berarti meninggalkan dalil-dalil tertentu
untuk mendatangkan maslahat atau menegakkan hukum di atas
pertimbangan maslahat yang lima: memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Istihsan jenis terakhir ini disebut juga
istishan atau al-mashalih al-mursalah.

PENUTUP

Yang terakhir ini exercise. Apakah cara berpikir yang berikut
ini termasuk istihsan atau bukan. Bunga deposito dapat
dibenarkan karena beberapa pertimbangan. Pertama, uang yang
disimpan mengalami penurunan nilai karena inflasi. Tingkat
inflasi bisa jadi lebih tinggi dari bunga deposito. Kedua,
dengan menyimpan, deposan harus membayar opportunity cost yang
boleh jadi lebih mahal dari bunga deposito. Ketiga,
mendepositokan uang juga siap memikul resiko, yang nilainya
dapat dihitung (serta mungkin saja lebih besar dari bunga
deposito). Walhasil, bila Anda tidak mengambil deposito Anda,
Anda akan menjadi pihak yang terzalimi atau teraniaya.
Padahal, agama menyatakan "tidak boleh menindas dan tidak
boleh ditindas"??

CATATAN

1. Al-Ijtihad wa Muda Hajatina ilaih fi Hadza al-'Ashr, Mesir:
Dar al-Kutub al-Haditsah, hal. 324 - 325.

2. Ada empat rukun qiyas: (1) asalnya, yakni kasus yang ada
dalam nas, misalnya minum khamar; (2) hukumnya, yakni haram;
(3) far', kasus baru yang akan ditetapkan hukumnya, misalnya
bir; (4) illat atau washf jami', yakni sebab yang menyamakan
kedua kasus itu, misalnya memabukkan atau minuman keras.

3. Lihat, Muhammad Taqiy, Al-Ushul al-Ammah fi al-Ammah fi
al-fiqh al-Muqaran, Beirut: Dar al-Andalus, 1979, hal.
361-362.

Pencerahan

ANTARA SUKMA NURANI DAN SUKMA DHULMANI
oleh Jalaluddin Rakhmat

Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling
sempurna di dinia ini. Hal ini, seperti yang dikatakan
Ibnu'Arabi manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah
di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga
karena ia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan)
asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.

Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya.
Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah
meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku
tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)

Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas
atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya.
Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan
dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam
dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.

Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan
para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh),
jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung
(al-qalb).

RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)

Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad.
Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan
jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam
ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli
sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi
dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan
kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.

Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah
ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di
dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik
dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan
terpuji, maka lain halaya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber
akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi
jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani
(binatang) dan jiwa insani.

Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang
organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa
hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan
melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang
kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai
kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).

Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau
al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi,
yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan
hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang
khusus, Dzatnya dan Penciptaannya.

Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani
(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa
(nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat
yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia
mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.

Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan
memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu
sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang
menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang
demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)

Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat
tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela
manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai
berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku
bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).

Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat
yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs
al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi
diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)

Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah
menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah
melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang
telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman,
yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.

Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan
ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan
terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci.
Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah
sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah
mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).
Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena
itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.

AKAL

Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau
intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir
yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa
(nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di
kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di
dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber
pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf
mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan
pengetahuan hati (rasa).

Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan
tertinggi --akal perolehan (akal mustafad)-- ia dapat
mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang
demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan
(sorga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu
berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang
demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).

Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal
kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang demikian akan
hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena
kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada
kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh
kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke
tingkat akal perolehan.

HATI SUKMA (QALB)

Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb.
Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung,
bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita
memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah
segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di
dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek
kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran
yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang,
bahkan bangkainya.

Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang
halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang
ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang
disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah
berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan
memahaminya." (QS. 7:1-79).

Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara,
bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu
jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda
pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para
filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan
akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama
merupakan daya berpikir.

Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah
atau sumber ma'rifat --suatu alat untuk mengetahui hal-hal
yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih
dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral
dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela
dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa,
wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah)
yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat
menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai
pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah
moralitas.

Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji
adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti
ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar
hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja,
sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya
kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari
penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya
berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani
--hati yang kotor.

Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh
hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah
yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah
orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).

Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah
pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika
cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh.
Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari
tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani
bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari
Allah Swt.

Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada
dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya,
ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap
dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan
dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya,
dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki
Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari
hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi
lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.

Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan
nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu
menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan
manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani
dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu al-Wafi aI-Taftazani, Maduhal ila al-Tashawwuf al-Islamiy,
Kairo, 1983.

Ahmad Dandy, Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Syeikh Nurudin
al-Raniry Jakarta, Rajawali, 1983.

Al-Farabi, Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo, 1906.

Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Kairo, 1334 H.

------, Ma'arij al-Quds fi Madarij Ma'rifah al-Nafs, Kairo,
1327 H.

------, Asnan al-Qur'an fi Ihya 'Ulum al-Din, Kairo.

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1978.

Muhyiddin Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, Kairo, 1949.

Sabtu, 27 Desember 2008

Gabungkan Kami Bersamamu

Ketika Imam Husain as bersiap-siap untuk berangkat, Ummu Salamah datang. Dengan airmata berlinang, ia memohon, "Janganlah engkau dukakan daku dengan kepergianmu ke Iraq. Aku telah mendengar kakekmu Rasulullah saw bersabda, "Anakku al-Husain akan terbunuh di bumi ke Iraq, di bumi yang dikenal dengan nama Karbala." Masih kusimpan tanahmu dalam botol yang diberikan Nabi kepadaku." Imam Husain berkata, "Ya ummah, aku tahu aku akan terbunuh, terbantai karena kezaliman dan permusuhan. Allah telah berkenan memperlihatkan kepadaku keluargaku dan sahabatku yang dihalau; anak-anakku yang disembelih, ditawan dan dibelenggu. Mereka minta pertolongan tetapi tidak mereka dapatkan pertolongan."

"Ajaib!Lalu mengapa engkau pergi padahal engkau akan terbunuh?," ujar Ummu Salamah. Imam Husain menjawab, "Ya Ummah, jika aku tidak berangkat hari ini, aku akan berangkat esok. Jika tidak esok, esoknya lagi. Demi Allah, kematian tidak dapat dihindari. Sungguh, aku tahu hari ketika aku terbunuh, detik- detik ketika aku terbunuh, dan kuburan yang di situ aku dikebumikan. Aku mengetahuinya seperti mengetahuimu. Aku melihatnya seperti melihatmu. Jika engkau mau, akan kuperlihatkan padamu tempat pembaringanku dan tempat sahabat- sahabatku." Ummu Salamah memohonnya. Ia memperlihatkan kepadanya turbah (tanah) sahabat-sahabatnya dan memberikan sebagian untuk Ummu Salamah. Dipesankannya agar ia menyimpannya dalam botol lagi. Bila ia melihatnya bersimbah darah, yakinlah bahwa Husain terbunuh. Pada hari kesepuluh Muharram, sesudah Zhuhur ia melihat kedua botol itu, dan keduanya telah berubah menjadi genangan darah.

Peristiwa yang saya kutip dari Maqtal al-Husain, tulisan Abd al-Razzaq al-Musawi ini, diriwayatkan oleh banyak muhaddits. Tak seorang pun mempersoalkan keabsahannya.Tetapi banyak orang bertanya, seperti Ummul Mukminin ra, mengapa Imam Husain pergi juga padahal ia telah mengetahui bahwa ia akan terbunuh. Sebagian malah menolak hadis itu hanya dengan alasan: tidak mungkin Imam Husain menjatuhkan dirinya dalam kebinasaan. Bukankah Tuhan berfirman,

"Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan." (Al-Baqarah 195)

Izinkan saya bertanya: Apa yang dimaksud dengan kebinasaan? Apakah setiap kematian dianggap kebinasaan? Apakah setiap kehidupan keberuntungan? Ketika Nero membakar Roma, ia tertawa menyaksikan ratusan ribu orang yang terpanggang hangus. Apakah Nero beruntung dan rakyat yang mati semua binasa? Hitler bersenang-senang di istananya, ketika jutaan manusia dijebloskan ke kamar gas dan dibunuh dengan gas beracun. Apakah Hitler beruntung dan rakyat yang tertindas itu celaka? Vlad The Impaler, raja Kristen dari Rumania, melemparkan tawanan Turki yang Muslim ke sebuah lembah yang dipenuhi dengan tombak-tombak, yang bagian tajamnya diarahkan ke atas. Kaum Muslimin itu tertusuk puluhan tombak dan mati karena kehabisan darah. Apakah kaum Muslim itu binasa dan raja Rumania itu

beruntung? Kejadian seperti itu berulang terus dalam sejarah umat manusia: Pengungsi Palestina yang dibunuh tentara Israel di Sabra dan Shatilla, Muslim Bosnia yang dibantai Kristen Serbia, pejuang Muslim Kasymir yang didrel serdadu Hindu dari India, Muslim Ambon yang dijagal oleh saudara-saudaranya yang berbeda agama.

Bila kita mengukur kebinasaan dari kekalahan dalam pertempuran, kelemahan dalam perbekalan, atau kekurangan dalam dukungan, ucapkanlah salam perpisahan kepada Islam. Kebinasaan dan keberuntungan tidak terletak pada kematian dan kehidupan; tetapi pada tujuan yang menyertai keduanya. Imam Ali, yang digelari George Jordac sebagai Suara Keadilan Insani, memberikan kriteria tegas:

AI-Hayat fi mawtikum qahirin; wal mawt.fi hayatikum maqhurin.

Kehidupan itu dalam kematianmu yang menaklukkan dan kematian itu dalam kehidupanmu yang ditaklukkan. Dalam peribahasa melayu, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai.

Mati untuk menegakkan kalimah Allah adalah kebaikan yang di atasnya tidak ada yang lebih baik menyaksikan lagi. Hidup mewah dengan mencampakkan syariat adalah kehinaan yang di bawahnya tidak ada yang lebih hina lagi. Imam Husain berkata dalam khotbahnya, " Aku tidak melihat kematian selain kebahagiaan; dan aku tidak melihat kehidupan bersama orang yang zalim selain kehinaan." Ketika Allah SWT berfirman ..." Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa." Dia meletakkan kehormatan dan kemuliaan pada ketakwaan. Harta menjadi mulia bila berada di tangan orang yang beragama, yang memperoleh dan mengeluarkan harta itu sesuai dengan tuntunan syariat. Harta menjadi fitnah yang mencelakakan bila dipegang oleh orang yeng mencari dan membelanjakannya dengan cara yang haram. Kekuasaan menjadi mahkota yang mulia bila dipergunakan untuk menegakkan keadilan dan menumbangkan kezaliman. Kekuasaan menjadi godaan yang menjerumuskan bila dijalankan untuk menyengsarakan rakyat dan memperkaya diri dan golongan. (Rasululllah saw bersabda, Jika para penguasamu adalah orang-orang yang baik di antara kalian; jika orang-orang kayamu adalah orang-orang dermawan di antara kalian; jika urusanmu selalu dimusyawaratkan di antara kamu, maka punggung dunia lebih baik bagimu dari perutnya. Jika para penguasamu adalah orang-orang buruk di antara kamu; jika orang-orang kayamu orang-orang yang bakhil; dan urusan diserahkan pada isteri-isterimu, maka perut bumi lebih baik bagimu dari punggungnya."

Zaman buruk yang digambarkan Nabi adalah zaman Imam Husain. Pada masanya, Bani Umayyah menegakkan kekuasaan dengan mengalirkan darah orang yang tidak bersalah, menumpuk kekayaan dengan merampas hak orang-orang kecil, dan menyebarkan ideologi "Might is right" yang berkuasa adalah yang benar. la "membayar' para ulama untuk melegitimasikan kekuasaannya dan menghamun-maki orang-orang yang berpegang teguh pada kebenaran. Agama diberi makna sesuai dengan kehendak penguasa. Lewat mesin propaganda waktu itu antara lain, khotbah-khotbah Jumat dan majlis- majlis pengajian ajaran keluarga Rasulullah saw (pasangan al-Qur'an) dianggap sebagai Islam yang sesat, dan fatwa keluarga Akilat al-Kabad, Hindun, sebagai Islam yang benar.

Simaklah ucapan Imam Ali as. ketika ulah Bani Umayyah: "Ingatlah bahwa bencana yang buruk bagi Anda di mata saya ialah bencana Bani Umayyah, karena bencana itu buta dan menciptakan kegelapan pula. Melandanya umum tetapi akibat buruknya adalah bagi orang-orang tertentu. Orang yang tetap berpandangan cerah didalamnya akan tertimpa kesedihan, dan orang yang tetap buta didalamnya akan menjahui kesedihan itu. Demi Allah, Anda akan mendapatkan Bani Umayyah sesudah saya adalah orang yang terburuk bagi Anda, seperti unta betina tua pembangkang yang menggigit dengan mulutnya, memukul dengan kaki depannya, menendang dengan kaki belakangnya, dan menolak untuk diperahi susunya. Mereka akan tetap menguasai Anda sehingga mereka hanya akan meninggalkan di antara Anda orang-orang yang bermanfaat bagi mereka atau orang-orang yang tidak merugikan mereka. Petaka mereka akan berlanjut hingga permintaan tolong Anda pada mereka seperti permintaan tolong oleh budak pada tuannya atau pengikut pada pemimpinnya. Bencana mereka akan menimpa Anda seperti ketakutan bermata jahat dan perpecahan jahiliah di mana tak kan terlihat menara yang petunjuk atau suatu tanda (keselamatan). Kami Ahlul Bait bebas dari kejahatan dan kami tidak termasuk kalangan orang yang akan melahirkannnya." (Puncak Kefasihan, Khotbah 92)

Apa yang dikuatirkan Imam Ali betul-betul terjadi pada zaman Imam Husain. Muawiyyah mati meninggalkan Yazid sebagai penguasa.

Dalam hadis ia mendapat julukan "bocah bodoh." Abdullah bin Hanzhalah (yang jasadnya dimandikan para malaikat), melaporkan perilaku Yazid, ketika bersama delegasi Madinah kembali dari Syam: "Wahai manusia, kami baru saja kembali dari seorang lelaki yang meninggalkan shalat, minum minuman keras, menikahi ibu dan saudara kandung, bermain bersama monyet dan anjing. Jika kita tidak melepaskan baiat kepadanya, aku takut kita akan dilempari batu dari langit." Ibnu Khaldun, sosiolog Islam itu, dengan tegas menyatakan bahwa para ulama Muslimin telah sepakat (ijmak) berkenaan dengan kefasikan dan kemaksiatan Yazid.

Orang dengan kualitas seperti itu, yang mencemoohkan agama dengan syair-syairnya diangkat sebagai penguasa Islam. la memaksa semua orang untuk berbaiat kepadanya. Di Madinah, di kota Rasulullah yang mulia, Marwan bin al-Hakam memaksa Imam Husain untuk berbait kepadanya. Ia juga mengancam untuk membunuh cucu Nabi itu jika menolaknya. Imam Husain berkata, "Yazid manusia yang fasik, pendosa, pembunuh orang yang tidak bersalah, yang menyebarkan kefasikan dan kemakslatan. Orang sepertiku tidak mungkin berbaiat kepada orang seperti dia! Dan Imam Husain memilih kematian ketimbang tunduk kepada kezaliman. Dengan darahnya di Karbala, ia meletakkan tonggak sebuah mazhab yang meletakkan kehormatan, bukan pada kekuatan fisik dan kekuasaan, tetapi pada pengorbanan untuk agama yang memihak keadilan. Baginya, kemenangan sejati diperoleh ketika benih kemaslahatan umat tumbuh subur dari siraman darah dan air matanya. Bila Yesus, menurut pandangan Kristiani, mati untuk menebus dosa umat manusia, Imam Husain gugur untuk meletakkan nilai kemanusiaan di atas nilai-nilai kekuasaan, keturunan, kekayaan dan kepandaian.

Kematiannya menghidupkan kembali Islam Muhammadi yang asli, yang memasukkan Salman orang Persl dalam kelompok Ahli Bait karena ketakwaannya dan mengeluarkan Abu Lahab, keluarga dekat Nabi, dari kelompok Ahli Bait karena keingkarannya.

Ketika ia meninggalkan Madinah, ia menulis surat wasiat kepada saudaranya Muhammad bin Hanafiyyah: " Aku keluar bukan karena kesombongan dan kepongahan, bukan juga untuk berbuat kerusuhan dan kezaliman. Aku keluar untuk menimbulkan perbaikan dalam tubuh umat kakekku Muhammad saw. Aku ingin melakukan amar makruf nahi mungkar. Aku ingin mengikuti perjalanan hidup kakekku dan ayahku Ali bin Abi Thalib. Jika orang menerimaku dengan penerimaan kebenaran maka Allah lebih utama untuk dipatuhi kebenaman- Nya. Barangsiapa yang menolakku, aku akan bersabar sampai Allah memutuskan kebenaran antara aku dan mereka. Dialah sebaik-baiknya hakim."

Lebih dari seribu tahun sesudah itu, seorang perempuan tua dan peneliti yang tekun berbicara di depan para pejabat Jerman, termasuk presiden dan anggota parlemen di sebuah istana di Berlin, memperingatkan para penguasa Dunia Barat untuk tidak mengajari orang Islam memperjuangkan hak asasi manusla. Sejarah Islam adalah perjuangan panjang untuk menentang tirani dan otokrasi. Dengan suara yang serak karena ketuaan, ia menglsahkan pengorbanan Imam Husain di Karbala. Inilah contoh utama pengorbanan besar untuk menegakkan pemerintahan yang adil dan beradab.

Perempuan itu namanya Annemarie Schimmel.

Jauh di sebelah timur, di bumi Indonesia, kita menangis pada hari Asyura, bukan karena menyesali nasib. Kita menangis untuk memasukkan arwah kita dalam barisan Imam Husain. Kata Imam Hasan al-Askari, "Bukan golongan kami yang tidak menderita karena derita kami dan tidak bergembira karena kegembiraan kami" Kita menangis duka karena para imam yang berduka. Dan mereka hanya berduka karena redupnya cahaya kebenaran dan berkobamya api penindasan. Duhai, alangkah bahagianya bila kami bergabung bersamamu, ya Aba Abdillah.

Kami penuhi panggilanmu, labbaik wahai Penyeru Allah. Jika badan dan lidah kami tidak dapat memenuhi panggilanmu ketika engkau mencari pertolongan, hati kami, pendengaran kami dan penglihatan kami telah menjawab seruanmu.

Jalaluddin Rakhmat

Gila Sebenarnya

Gila Sebenarnya


Oleh : Jalaludin Rakhmat

Pada suatu hari, Rasulullah SAW melewati sekelompok orang yang sedang berkumpul.
Beliau bertanya,
"Karena apa kalian berkumpul disini".
Para sahabat menjawab, " Ya Rasulullah, ini ada orang gila, sedang mengamuk. Karena itulah kami berkumpul disini?".
Beliau bersabda : "Orang ini bukan gila. Ia sedang mendapat musibah. Tahukah kalian, Siapakah orang gila yang benar-benar gila ( al-majnun haqq al-majnun)?".
Para sahabat menjawab, "Tidak,ya Rasulullah...?"
Beliau menjelaskan, "Orang gila adalah orang yang berjalan dengan sombong, yang memandang orang dengan pandangan yang merendahkan, yang membusungkan dada, berharap akan ada Surga Tuhan sambil berbuat maksiat kepadaNya, yang kejelekannya membuat orang tidak aman dan kebaikannya tidak pernah diharapkan. Itulah orang gila yang sebenarnya. Adapun orang ini, dia hanya sedang mendapat musibah saja."

Majnun, orang gila, berasal dari akar kata jannat, yang artinya menutupi. Dia masih mempunyai akal, tetapi akalnya itu tidak dapat menerangi perilakunya. Akalnya sudah dikuasai hawa napsunya. Dengan pengertian inilah Nabi Muhammad SAW, menyebut orang takabur sebagai majnun. Para sahabat menyebut majnun kepada orang yang perilakunya tidak normal (abnormal). Sementara Nabi menyebut orang seperti itu dengan mubtala, orang yang mendapat musibah, orang sakit. Dia sakit karena tidak sanggup menanggung derita. Perilakunya yang aneh hanyalah teknik untuk melarikan diri dari kenyataan yang sangat menyakitkan : berpisah dengan orang yang dicintai, dikhianati sahabat, kehilangan pekerjaan, menghadapi buah simalakama, dsb. Nabi SAW menyuruh kita melihat orang seperti itu sebagai orang yang kita bantu. Ia buka majnun, tetapi mubtala.
Kita harus meringankan deritanya dan memberikan jalan keluar dari bala yang mengenainya. Ia bukan orang yang tertutup akalnya. Ia hanya orang yang hancur hatinya.
Bukankah Tuhan berkata : "Carilah Aku ditengah-tengah orang yang hancur hatinya ?". Orang yang kena bala harus didekati, tetapi orang gila harus dijauhi. Menurut Nabi SAW, ciri utama orang gila adalah takabur. Ia merasa dirinya besar dan merendahkan orang lain. Takabur menutupi kenyataan bahwa ia tidak berbeda dengan yang lainnya. Ia hanya makhluk yang berasal dari nuthfah dan berakhir pada jifah (bangkai). Karena takabur, dia menjadi majnun. Akalnya tertutup. Takabur mengubah kedudukan, keturunan, dan kekayaan menjadi tirai baja yang menutup jati dirinya.
Rasulullah SAW berkata kepada Abu Dzarr, "Wahai Abu Dzarr, barang siapa mati dan dalam hatinya ada sebesar debu dari takabur, ia tidak akan mencium bau Surga, kecuali jika Ia bertaubat sebelum maut menjemputnya".
Abu Dzarr berkata: "Ya Rasulullah, Aku mudah terpesona dengan keindahan, Aku ingin gantungkan cambukku indah dan pasangan sandalku juga indah. Yang demikian itu membuatku takut”.
Rasulullah bertanya : “Bagaimana perasaan hatimu ?". Abu Dzarr menjawab : "Aku dapatkan hatiku mengenal kebenaran dan tentram didalamnya".
Rasulullah berkata : "Yang demikian itu tidak termasuk takabur. Takabur itu ialah meninggalkan kebenaran dan kamu mengambil selain kebenaran. Kamu melihat kepada orang lain dengan pandangan bahwa kehormatannya tidak sama dengan kehormatanmu, darahnya tidak sama dengan darahmu".
Walhasil, Anda takabur kalau Anda tidak mau menerima kebenaran karena yang menyampaikan kebenaran itu rakyat kecil, Orang miskin, bawahan atau pegawai. Anda tidak mau mendengar nasehat dari Anak atau Istri Anda, karena Anda menganggap mereka lebih rendah dari Anda. Anda tidak mau mendengar pembicaraan dari orang Isalam yang pahamnya berbeda dengan Anda karena Anda menganggap mereka sesat dan Anda berada di jalan yang benar. Karena Anda mempunyai hubungan dekat dengan orang besar, Anda ingin diperlakukan sebagai orang istimewa dan hokum apapun tidak boleh berlaku untuk Anda. Karena Anda merasa lebih berilmu, Anda meremehkan orang yang Anda anggap bodoh. Anda kecam mereka. Anda tertawakan kejahilan mereka. Kalau ilmu Anda itu ilmu Agama. Anda berikan gelar-gelar yang buruk kepada orang yang Anda pandang tidak sepaham dengan Anda. Anda khusukan Surga itu untuk kelompok Anda dan neraka untuk kelompok lain. Anda sahkan semua ibadah Anda dan anda batalkan ibadah yang lain. Karena Anda ahli ibadah, Anda merasa diri Anda yang paling salih diantara seluruh makhluk di Bumi ini. Anda sombong dengan salat malam anda. Anda bangga dengan bacaan Alquran Anda. Anda tinggi hati dengan haji dan umrah Anda. Kemudian, Anda merasa puas dengan ibadat Anda dan lupa dengan akhlak Anda di tengah-tengah masyarakat. Anda begitu puas dengan puasa Anda, sehingga Anda lupa pada fakir miskin disekitar Anda. Anda begitu senang dengan salat Anda sehingga Anda lupa memperbaiki akhlak Anda.
Karena Anda mempunyai kekayaan lebih dari kebanyakan orang. Anda busungkan dada anda. Anda rendahkan orang-orang yang kurang kaya disbanding Anda. Anda ciptakan kelompok eksklusif. Anda singkirkan ke pinggir, orang-orang yang lebih miskin dari anda. Anda menganggap mereka tidak sederajat dan tidak sedarah dengan anda. Karena anda merasa berkuasa, anda tidak segan-segan menggebuk orang yang tidak anda sukai. Anda tidak menghiraukan penderitaan rakyat kecil yang anda tindas dengan semena-mena. Anda menegakkan kekuasaan diatas keringat, air mata dan darah orang-orang yang tak berdaya. Kalimat-kalimat diatas dapat anda gunakan untuk mendiagnosis apakah anda memiliki penyakit takabur. Satu saja diantara "gejala" itu anda rsakan, anda sudah menjadi orang yang betul-betul gila (almajnun haq-almjnun) ***

disarikan dari buku Reformasi Sufistik
karya Jaludin Rakhmat Penerbit : Pustaka Hidayah. Salinan dari harian pagi “meteor”, kamis 22 Nopember 2001