PERANAN TUNTUTAN SITUASI DALAM MEMAHAMI HUKUM ISLAM
oleh Jalaluddin Rakhmat
Jika saya mendepositokan uang saya di bank, bolehkah saya
menerima bunga depositonya? Apakah bunga deposito itu sama.
dengan riba? Tanyalah ulama yang Anda kenal, dari golongan apa
saja. Ada tiga kemungkinan jawaban: boleh, tidak boleh, tidak
tahu. Anehnya bila golongan yang ditanya --Muhammadiyah,
Persis, NU jawabannya satu. Semua golongan itu sepakat (ijma')
untuk menyimpan uangnya di bank dan memanfaatkan bunganya,
tentu saja bagi kepentingan umat Islam. Bila diminta fatwa
lisan atau tulisan, verba non acta, sekali lagi jawabannya
akan beragam. Kebanyakan di antara umat Islam masih belum
mendapat jawaban yang tegas dan memuaskan.
Ulama yang ditanya itu memang mengalami kemusykilan. Deposito
dan bunganya tidak dikenal di zaman Rasulullah saw. Mereka
tidak menemukan nash --teks al-Qur'an atau Hadits-- yang
menerangkan ketentuan hukum untuk deposito. Ada memang
ketentuan tentang riba, tapi apakah riba sama dengan bunga
deposito?
Kemusykilan seperti itu telah dihadapi para ulama sepanjang
sejarah. Yang kita sebut syari'at pada mulanya hanya
menyangkut masalah keluarga, perdagangan yang sederhana dan
hukum pidana. Ketika Islam bertemu dengan peradaban-peradaban
lain, apa yang tercakup dalam syari'at menjadi lebih luas.
Para ulama merumuskan syari'at dalam bentuk fiqh yang mengatur
bidang-bidang kehidupan yang lebih kompleks. Menurut
al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, ketika dinasti
Umayyah bertemu dengan kebudayaan Persia, mereka menemukan
lembaga yang menyelesaikan urusan orang-orang yang dizalimi.
Lembaga ini tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah, tapi
mereka menganggap lembaga ini sangat bagus. Kemudian penguasa
Umayyah mengukuhkan lembaga itu dan menamainya Dewan Mazhalim.
Mereka bukan saja menganggap dewan ini tidak bertentangan
dengan syar'i, tapi bahkan memelihara tujuan syar'i.
Secara berangsur-angsur, para ulama mengembangkan metode
istinbath (menarik kesimpulan hukum) baik berdasarkan
kaidah-kaidah atau petunjuk umum dalam nash maupun dari
penggunaan akal. Di antara metode-metode itu adalah qiyas,
istihsan dan istishlah. Semua metode ini hanyalah upaya
memecahkan persoalan. Studi kritis terhadapnya akan segera
membuktikan bahwa penggunaan metode-metode tersebut juga
menimbulkan persoalan. Tidak ada kesepakatan ulama mengenai
kebolehan menggunakan masing-masing di antara ketiga hal itu.
Sebagian menerimanya, sebagian menolakaya. Tidak jarang
perbedaan itu muncul karena perbedaan pemaknaan
istilah-istilah itu. Syafi'i, misalnya, menyerang istihsan dan
menganggapnya sebagai usaha untuk membuat syari'at (man
istahsana fa qad syara'a). Maliki dan Hanafi memandang
istihsan bahkan harus didahulukan dari qiyas. Malik menyebut
istihsan sebagai sembilan persepuluh ilmu (Al-istihsan tis'at
a'syar al-'ilm). Tapi ketika Syafi'i menyerang istihsan
seperti yang dimaknakan olehnya, ia menggunakan metode qiyas
khafi, yang tidak lain daripada istihsan menurut mazhab
Hanafi.
Tulisan ini akan dimulai dengan mencoba menyelesaikan kemelut
makna istihsan dan istishlah dan diakhiri dengan petunjuk
praktis penggunaannya dalam menjawab tuntutan situasi sekarang
ini. Namun sebelum itu, sebagai pengantar, saya kutipkan
penjelasan Sayyid Musa Tuwanat: [1]
Bila mujtahid tidak menemukan hukum dalam al-Qur'an, Sunnah,
ijma' dan pendapat para sahabat, atau tidak ada yang dapat
dijadikan hujjah dari pendapat-pendapat mereka, ia bersandar
kepada qiyas. Inilah yang ditetapkan oleh Imam Syafi'i dan
ditegaskan al-Syirazi dan al-Maqdisi. Begitu pula para
pengikut Hanafi yang membahas qiyas sesudah al-Kitab, Sunnah
dan ijma. Imam Malik juga mengambil qiyas, tapi sesudah
mengambil mashalih mursalah dan istihsan. Imam Ahmad pun
bersandar kepada qiyas dengan syarat sesudah meninjau hukum
itu dalam al-Qur'an dan Hadits dalam maknanya yang lebih luas,
walaupun ia berbeda dari mujtahidin lainnya dalam cara dan
cakupan penggunaan qiyas.
Tidak ada madzhab yang menolak penggunaan istihsan kecuali
madzhab Dzahiriyah dan Syi'ah. Adapun cara menggunakan qiyas
sebagai berikut: Seorang mujtahidin melakukan penelitian
apakah ada dalil yang menunjukkan dalil tentang illat untuk
menentukan hukum far'. [2] Bila illat itu diketahui dengan
menggunakan cara-cara yang dikenal dalam kitab ushul dan ada
hubungan antara illat ini dengan kasus yang akan ditetapkan
hukumnya, dan sudah ditegaskan hubungannya disamakanlah hukum
yang asal dengan far' berdasarkan kesamaan illat seperti yang
dipahaminya.
Kadang-kadang mujtahid meninggalkan satu dalil kepada dalil
yang lebih kuat, atau kepada maslahat, atau meninggalkan qiyas
kepada atsar, atau kepada ijma' atau kepada dharurat.
Kadang-kadang qiyas ditinggalkan karena ada dalil yang kuat
atsarnya. Dalam semua keadaan itu, ia tidak keluar dari upaya
menjalankan nash, atau qiyas, atau mashlahat. Yang demikian
itu disebut istihsan.
PENGERTIAN ISTIHSAN
Secara denotatif, istihsan artinya memandang baik terhadap
sesuatu. Pendirian Dewan Madzalim dipandang baik; artinya,
harus dilakukan berdasarkan istihsan. Menarik sekali, para
ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari
al-Qur'an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam
pengertian denotatif ini (yaitu, orang-orang yang mendengarkan
kata dan diturutinya yang paling baik, Q.s al-Zumar: 18; "Dan
turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu", al-Zumar: 55; "Apa yang dianggap kaum
Muslim baik, menurut Allah baik juga," --Hadits menurut
riwayat Abdullah bin Mas'ud.
Bila kita mengacu pada literatur, kita akan menemukan banyak
sekali definisi istihsan --yang tidak selalu menunjukkan
referensi yang sama. Ada definisi yang dibuat dengan
memperhatikan segi-segi politis dan bukan segi-segi ilmiahnya.
Untuk menunjukkan bagaimana definisi-definisi itu lebih banyak
menyulitkan daripada membantu, kita lihat contoh di bawah ini:
1. Istihsan adalah meninggalkan qiyas untuk mengambil yang
lebih sesuai dengan orang banyak.
2. Istihsan adalah mencari kemudahan dari hukum-hukum yang
dihadapi orang banyak atau orang tertentu.
3. Istihsan adalah mengambil keluasan dan mencari kelegaan.
4. Istihsan adalah mengambil yang permisif dan memilih yang di
dalamnya ada ketenangan (semuanya dari al-Sarkhashi).
5. Istihsan artinya meninggalkan kepastian qiyas kepada qiyas
yang lebih kuat atau mentakhshiskan qiyas dengan dalil yang
lebih kuat (al-Bazdawi dari madzhab Hanafi).
6. Istihsan artinya mengamalkan yang lebih kuat di antara dua
dalil (al-Syathibi dari madzhab Maliki).
7. Istihsan artinya meninggalkan hukum masalah dari yang
semacamnya karena dalil syara' yang tertentu (al-Thufi dari
madzhab Hambali).
8. Istihsan adalah apa yang dipandang baik oleh mujtahid
dengan akalnya. [3]
Karena kita mengalami kesulitan memahami istihsan dari
berbagai definisi itu, marilah kita ambil contoh kasus yang
oleh para mujtahid disebut sebagai istihsan. Melihat aurat
perempuan yang bukan muhrim haram, karena dapat menimbulkan
"fitnah" (membawa orang kepada kemaksiatan). Yang dalam kurung
itu disebut 'illat yang sangat jelas (kita sekarang sedang
melakukan qiyas jaliy). Bagaimana hukumnya seorang dokter yang
harus memeriksa pasien wanitanya? Bila ia tidak melihat
auratnya, ia tak bisa menolong pasien itu dengan baik. Ia
harus menolong pasien itu untuk mengembalikan kesehatannya,
untuk kemaslahatan pasiennya. Tapi alasan ('illat) ini hanya
dalam kasus pasien saja dan dianggap tegas (kita sedang
melakukan qiyas khafiy). Bila kita meninggalkan qiyas jaliy
dan mengambil qiyas khafiy, kita melakukan istihsan.
Kadang-kadang seorang mujtahid meninggalkan qiyas karena
menemukan hadits yang lebih kuat, atau karena memperhatikan
kemaslahatan, atau karena 'urf (adat kebiasaan yang sudah
lazim). Bila kita memperhatikan praktek-praktek yang disebut
istihsan, kita menemukan istihsan dalam tiga pengertian:
Pertama, istihsan berarti memilih yang lebih kuat di antara
dua dalil yang bertentangan atau berbeda (berikhtilaf). Boleh
jadi ikhtilaf di antara dua dalil lafzhi --yakni dalil yang
diambil dari al-Qur'an dan Sunnah. Atau ikhtilaf di antara dua
dalil ghair lafzhi; misalnya, antara qiyas jaliy dengan qiyas
khafiy. Atau ikhtilaf di antara dalil lafzhi dan ghair lafzhi.
Marilah kita mulai dengan ikhtilaf di antara dua dalil lafzhi.
Dalam hal ini, ikhtilaf dapat berupa tazakam dan ta'arudh.
Yang dimaksud dengan Tazabum adalah pembenaran dua hukum yang
berasal dari syara', yang tidak mungkin digabungkan. Ta'arudh
artinya perbedaan hukum karena perbedaan kasus (ikhtilaf
shawar al-masalah).
Kita melakukan istihsan bila kita mentarjih (menganggap lebih
baik) salah satu di antaranya. Sambil memberikan
contoh-contohnya, saya akan menunjukkan petunjuk-petunjuk
praktis penggunaan istihsan pada tazahum dan ta'arudh.
(1) Dulukan hukum yang mendesak (mudhiq) di atas hukum yang
memberikan kelonggaran (musi'). Misalnya, antara menghilangkan
najis di masjid dengan melakukan shalat pada awal waktunya,
atau antara menolong orang yang celaka dengan melakukan shalat
Jum'at. Pilihlah menghilangkan najis dan menolong orang yang
celaka.
(2) Dulukan yang tidak ada penggantinya dengan yang ada
penggantinya. Misalnya, menggunakan air untuk memuaskan rasa
haus atau untuk berwudhu'. Wudhu' itu ada penggantinya, yaitu
tayammum. Tapi memuaskan haus tidak bisa diganti dengan batu.
(3) Dulukan yang sudah tertentu (mu'ayyan) di atas urusan yang
memberikan alternatif (mukhayyar). Misalnya memenuhi nadzar
atau membayar kifarat. Anda bernadzar untuk memberikan makanan
bagi orang miskin, tapi juga Anda harus membayar kifarat
puasa.
(4) Dulukan yang lebih penting dari pada yang penting. Anda
wajib melakukan haji dan pada saat yang sama Anda harus
membayar hutang. Bayarlah hutang Anda lebih dulu.
Ta'arudh terjadi kalau ada dua dalil syara' yang bertentangan.
Para ulama ushul mengusulkan beberapa cara, yang tidak dapat
kita perinci satu per satu: mendulukan yang mutlak di atas
yang muqayyad, takhshish di atas 'am, nasikh di atas mansukh,
hakim di atas mahkum, al-Qur'an di atas Sunnah, yang
disepakati di atas yang diikhtilafi.
Kedua, istihsan berarti mengambil sesuatu yang sudah dipandang
baik oleh 'urf atau akal. Misalnya, mencatat pernikahan di
kantor departemen Agama. Istihsan dalam arti ini harus
dilakukan dengan sangat hati-hati. Karena apa yang dipandang
baik 'urf atau akal itu boleh jadi sangat subyektif, sehingga
besar kemungkinan mengikuti bias-bias sosio-psikologis. Kita
juga tidak cukup waktu membicarakan hal ini.
Ketiga, istihsan berarti meninggalkan dalil-dalil tertentu
untuk mendatangkan maslahat atau menegakkan hukum di atas
pertimbangan maslahat yang lima: memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Istihsan jenis terakhir ini disebut juga
istishan atau al-mashalih al-mursalah.
PENUTUP
Yang terakhir ini exercise. Apakah cara berpikir yang berikut
ini termasuk istihsan atau bukan. Bunga deposito dapat
dibenarkan karena beberapa pertimbangan. Pertama, uang yang
disimpan mengalami penurunan nilai karena inflasi. Tingkat
inflasi bisa jadi lebih tinggi dari bunga deposito. Kedua,
dengan menyimpan, deposan harus membayar opportunity cost yang
boleh jadi lebih mahal dari bunga deposito. Ketiga,
mendepositokan uang juga siap memikul resiko, yang nilainya
dapat dihitung (serta mungkin saja lebih besar dari bunga
deposito). Walhasil, bila Anda tidak mengambil deposito Anda,
Anda akan menjadi pihak yang terzalimi atau teraniaya.
Padahal, agama menyatakan "tidak boleh menindas dan tidak
boleh ditindas"??
CATATAN
1. Al-Ijtihad wa Muda Hajatina ilaih fi Hadza al-'Ashr, Mesir:
Dar al-Kutub al-Haditsah, hal. 324 - 325.
2. Ada empat rukun qiyas: (1) asalnya, yakni kasus yang ada
dalam nas, misalnya minum khamar; (2) hukumnya, yakni haram;
(3) far', kasus baru yang akan ditetapkan hukumnya, misalnya
bir; (4) illat atau washf jami', yakni sebab yang menyamakan
kedua kasus itu, misalnya memabukkan atau minuman keras.
3. Lihat, Muhammad Taqiy, Al-Ushul al-Ammah fi al-Ammah fi
al-fiqh al-Muqaran, Beirut: Dar al-Andalus, 1979, hal.
361-362.
Salam. Mohon izin artikel Kang Jalal di atas saya sebar.
BalasHapus