Kamis, 08 Januari 2009

Renungan

Renungan Hud-HUd

Non-Kontradiksi dan Kausalitas

Merenungi segala yang ada, pertama pasti ada subyek yang merenung, obyek yang direnungi, maupun relasi antara subyek yang merenung dengan obyek yang direnunginya. Maka, pertama-tama tentu –agar semua renungan lain memiliki makna dan nilai- subyek yang merenung (perenung) seharusnyalah merenungi dirinya sendiri dan apa sumber-sumber yang membuktikan kebenaran suatu pengetahuian dari dirinya sendiri.

Aristoteles-lah –sejauh pengetahuan penulis- orang yang pertama kali menemukan (‘menyatakan secara formal’) bahwa di antara seluruh prinsip niscaya rasional, prinsip non-kontradiksi (kemustahilan terjadinya kontradiksi logis) merupakan prinsip logis yang paling mendasar. Artinya, tidak mungkin meyakini kebenaran apa pun, -walaupun hanya merupakan kebenaran “inderawi” yang paling sederhana- tanpa menerima prinsip non-kontradiksi

Pernyataan matematis prinsip non-kontradiksi ini tidak lain adalah x sama dengan x, dan x tidak sama dengan selain x, dan tidak pernah akan mungkin sama dengan selain x. yang pertama di sebut prinsip identitas (qanun dzatiyah), yang kedua disebut prinsip non-kontradiksi (qanun tanaqudh), dan yang terakhir disebut prinsip ketiadaan batas (qanun imtina’). Ketiga butir prima-principia ini terkadang disebut sebagai prinsip non-kontradiksi.

Tidak menerima prinsip non-kontradiksi ini artinya tidak mungkin menyatakan kebenaran apapun. Karena berarti benar bisa bercampur dengan salah.

Tidak menerima prinsip non-kontradiksi ini artinya tidak mengakui identitas diri sendiri. Karena “aku” bisa saja sama dengan selain “aku”.

Tidak menerima prinsip non-kontradiksi ini bahkan berakibat hilangnya identitas segala sesuatu. Sehingga segala ini “ada” ataupun “tidak ada” sama saja.

Sehingga, benar jika kita bahwa prinsip non-kontradiksi adalah suatu hukum dasariah segala yang ada. Tak ada suatu pun yang meningkarinya.

Sehigga, dapat dikatakan secara “hudhuriy” prinsip segala yang ada telah ada pada “jiwa” manusia. Karena non-kontradiksi sebagai satu prinsip niscaya pada segala yang ada ternyata niscaya pula pada jiwa manusia.

Sebagai satu prinsip niscaya rasional lain yang tak kalah penting dari “prinsip non-kontradiksi” adalah hukum sebab-akibat. Bunyi hukum sebab-akibat adalah sebagai berikut, “Segala sesuatu memerlukan sebab untuk meng-ada kecuali keberadaan itu sendiri.” Adapun beberapa sifat penting hukum kausalitas adalah;

1. Keselarasan sebab dan akibat. Artinya satu sebab yang sama akan menghasilkan satu akibat yang sama.

2. Kesemasaan sebab dan akibat. Artinya secara hakiki sebab sebenarnya semasa dengan akibat.

3. Relasi eksistensial antara sebab dan akibat. Artinya, dapat dikatakan sebab-lah yang memberikan eksistensi/keberadaan pada, akibat atau sebaliknya akibat meng-ada karena sebab.

Prinsip niscaya rasional kausalitas ternyata merupakan suatu prinsip yang dapat diturunkan dari prinsip yang lebih mendasar; yang prinsip non-kontradiksi. Ini dapat kita buktikan melalui dua poin;

1. Karena ada artinya memiliki keberadaan, dan sesuatu pasti meliki dirinya, jadi keberadaan pasti ada dengan sendirinya.

2. Jika ada sesuatu selain keberadaan tanpa sebab yang menyebabkannya ada, maka terdapat tiga kemungkinan.

· Ia berasal dari ketiadaan. Ini mustahil, karena berarti ada sama dengan tiada.

· Ia berasal dari sesuatu yang lain. Dalam hal ini sesuatu yang lain itulah “sebab”-nya.

· Ia tidak berasal dari sesuatu selain dirinya, berarti keberadaannya adalah keberasaan wajib. Padahal ashalah al-wujud jelas menegaskan bahwa tidak ada quiditas (mahiyyah) apapun yang memiliki keberadaan wajib kecuali keberadaan (wujud) itu sendiri.

Sebagian orang percaya bahwa sumber pengetahuan (sumber konsepsi maupun pembenarannya) hanyalah hal-hal yang bersifat inderawi. Tapi pendapat ini mustahil, karena;

1. Tanpa menerima prinsip niscaya rasional, -yaitu prinsip non-kontradiksi dna prinsip kausalitas-, seluruh yang diindera dan konsepsi inderawi manusia kehilangan hubungan dengan sesuatu yang obyektif yang dicerapnya. Salah satu implikasi dari hal adalah bahkan keberadaan materi pun tidak dapat ditahkik sama sekali.

2. Bagaimana mungkin sifat dasariah inderawi yang “mungkin benar” dapat digunakan sebagai hujjah bagi sesuatu yang “pasti benar”?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar