Kamis, 08 Januari 2009

Renungan

Hakikat Tuhan adalah

Wujud qua Wujud

Prinsip kausalitas ; bahwa segala sesuatu yang maujud memerlukan sebab agar meng-ada, tentu kecuali keberadaan itu sendiri ; merupakan satu prinsip yang telah hadir secara fitri dalam akal filosofis manusia. Setiap pemikir mau tidak mau mesti menggunakan prinsip ini, sebagaimana juga prinsip non-kontradiksi, untuk melandasi seluruh teori dan pengetahuannya.

Dalam alam kausalitas ini, Tuhan sebagai Pencipta sekalian alam, tidak lain dimengerti sebagai Sebab Pertama (Causa -Prima). Artinya sebab yang bukan merupakan akibat dari sebab lain. Karena kalau Tuhan bukan Sebab pertama berarti Ia bukanlah Pencipta dari sekalian alam, malahan dapat dikatakan ia diciptakan. Maha Suci Tuhan dari semua yang mereka sifatkan!

Sebagai Sebab Pertama, hakikat Tuhan adalah keberadaan-Nya. Keberadaan-Nya tidak lain adalah keberadaan sebagai keberadaan (wujud qua wujud) atau Al-Wujud Al-Muthlaq.

Bukti. Kalau hakikat Tuhan bukan keberadaan itu sendiri, maka pasti Ia memerlukan sebab untuk mengada. Sebab untuk mengada yang diperlukan ini ada dua kemungkinan

1. Sebab itu adalah diri-Nya sendiri. Kemungkinan ini mustahil, karena akan terjadi rantai sebab akibat tanpa ujung.

2. Sebab itu adalah selain diri-Nya sendiri. Jika kemungkinan ini benar maka Tuhan bukan Sebab Pertama. Atau dengan kata lain Tuhan adalah bukan Tuhan. Dan ini mustahil juga karena merupakan suatu kontradiksi logis.

Jadi Tuhan itu Tunggal. Karena wujud qua wujud itu tunggal.

Dan Tuhan tidak terbagi atau tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil. Karena wujud qua wujud itu tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil.

Bukti bahwa wujud qua wujud tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil adalah sebagai berikut. Jika wujud qua wujud tersusun atas bagian yang lebih kecil, maka ada dua kemungkinan

1. Ada di antara bagian tersebut yang merupakan wujud qua wujud. Maka ini mustahil karena akan menghasilkan rantai tanpa ujung.

2. Tidak ada di antara bagian tersebut yang merupakan wujud qua wujud. Ini pun mustahil karena dengan demikian wujud qua wujud tidak mempunyai keberadaan.

Dan Tuhan tidak terikat oleh “ke-kapanan” maupun “ke-dimana-an” apapun. Karena ke-kapanan maupun ke-dimana-an pasti terbagi. Ke-kapanan membagi masa menjadi sekarang, esok, lusa. Ke-dimana-an membagi posisi menjadi di sana, di situ dan lain-lain. Sedang Tuhan tidak terbagi.

Dan Tuhan itu bukanlah suatu substansi bukan pula aksiden, jika dilihat dari hakikatnya, kecuali secara aksidental. Karena dari defenisinya1 substansi adalah mahiyyah yang diaktualisasi di alam eksternal yang tidak memerlukan substratum (dasar), sedang wujud bukanlah mahiyyah. Wujud bukan pula aksiden, karena aksiden memerlukan substratum, sedang wujud pasti tidak memerlukan substratum apa-pun, karena substratum apa-pun justru memerlukannya untuk mengada. Wujud tidak mungkin merupakan substansi maupun aksiden, kecuali secara aksidental saja. Suatu wujud partikular merupakan substansi melalui ke-substansi-an mahiyyah yang berkaitan, dan ia merupakan aksiden melalui ke-aksiden-an mahiyyah yang berkaitan. Konsep wujud adalah aksiden dalam artian konsep ini adalah suatu predikat yang disarikan dari subyek-subyeknya.

Dan tidak ada apapun yang bisa dilawankan dengan Tuhan, tidak pula ada suatu yang mirip dengan-Nya. Karena dua hal yang berlawanan mempunyai beberapa syarat;

· sama-sama ada

· mempunyai substratum yang sama

· mempunyai perbedaan yang ekstrim

· dapat diklasifikasikan di dalam genus yang berdekatan / kira-kira sama

Sedang wujud tidak punya substratum, tidak pula punya genus, dan tidak pula jarak (beda) yang ekstrim terhadap apa – pun.. Karena itu pemisahan mahiyyah dari wujud adalah suatu “pembubuhan/penghiasan” mahiyyah oleh wujud. Lebih lanjut, tidak ada suatu apa pun yang mirip dengan wujud. Karena, dua hal yang mirip adalah dua hal yang mempunyai suatu yang sama dalam mahiyyah – nya, sedang wujud bukanlah mahiyyah.



1 Haji Mulla Hadi Sabzavari, Syarh-e Manzumeh-e Hikmat, (English Translation oleh M. Mohaghegh $ T. Itsuzu), pp. 203-217

Tidak ada komentar:

Posting Komentar