Huwa al-Awwalu wa al-Aakhiru,
Wa azh-Zhoohiru wa al-Baathinu1;
Duhai Pemuda Tampan dari Kana’aan
pemuda tampan itu, pemuda tampan yang putih memerah itu telah datang
bermekaran bunga tulip yang ranting dan akar telah menungunya hingga meradang
bersiulan tuhan - tuhan yang telah ingin menatap cumbunya hingga mata tuli memandang
bermancungan hidung-hidung yang telah merindukan keindahannya hingga hati gadis pun terbang
berlembutan smara dan hawa yang telah merindukan cumbu-desahnya hingga jiwa pun terbang
bertarian balerina bidadari dan bidadara yang telah merindukan lukisannya dan surga pun terbentang
berluasan cakrawala jiwa, di mana-manapun keindahan wajahmu, karena wajahmulah Wa adh-dhuha lembut gemilang
berputihan sakura melengking, musim semi tiba, musim semi tiba, pandanglah Sang Sayyid Mulia dari Bangil Suci tersayang[1]
Huwa, - wujud -, adalah yang awal dari semua , maupun yang akhir dari semua . Ia pula yang zhahir dari semua, dan yang bathin dari semua.
Para perenung yang melihatnya dengan kaca mata sebab-akibat[2], mungkin akan memandang-Nya sebagai Sang Maha Sebab tanpa menyadarinya sebagai Sang Maha Akibat. Ini mungkin terjadi bila mereka terjebak dalam kejamakan eksistensial, yang meyakini bahwa eksistensi itu tidak tunggal.
Para pencinta yang Iluminasionis mungkin terpeleset ke dalam jurang dan palung kekekalan esensial, mereka melihat bakat-bakat ( al-a’yaan ) mempunyai eksitensi yang kekal, hingga awal segala bukanlah tunggal melainkan jamak.[3]
Seorang Muslim melihat hakikat-Nya yang Tunggal, - yang dalam Surat Al-Ikhlash maupun Al-Hadiid pernah disebut sebagai Huwa dan Muhyiddin Ibn ‘Arabi menyebutnya sebagai Al-Huwa[4]-, sebagai Ahad[5] (Yang Tunggal), Nuuru as-samaawaati wa al-‘ardhi (Cahaya langit dan bumi)[6], al-muhiithu[7] (Yang Maha Meliputi “semua”), al-awwalu (awal “semua”), al-aakhiru (akhir “semua”), azh-zhoohiru (yang maha zhahir, atau yang mahaterlihat atau yang tergamblang), al-baathinu (yang maha batin, atau yang mahatakterlihat atau yang mahatersembunyi).
Kesejukan Keindahan Manifestasi Yang Tunggal dan Sempurna, dengan seluruh bibir merah keCantikan azalinya dirasakan oleh setiap muslim bak air sejuk memancar dari sumbernya yang bening. Dzauq ini keberkahan abadi Junjungan Kita Muhammad dan keluarganya yang suci. Tanpa dzauq ini seluruh pemahaman terhadap ujaran para ahli hikmah menjadi sesat.
Betapa naifnya seorang doktor filsafat yang menyatakan Sadr al-Muta`allihiin tidak menerima wahdat al-wujuud (atau menurut istilahnya existential-monism) berdasarkan pandangan Beliau YM yang terkenal dengan nama tasykiik al-wujuud (gradasi wujud). Doktor yang sama menyatakan bahwa Beliau YM tak konsisten dan terlalu terpengaruh Ibn ‘Arabi pada saat memisalkan “keberadaan” semua makhluk sebagai bayangan.[8]
Wujud adalah awal semua manifestasi, dan quiditas (keapaan) tidak muncul dalam realitas eksternal, sehingga akhir semua manifestasi adalah wujud dan bukan quiditas. Quiditas memestikan kemungkinan.[9] Kemungkinan artinya ketakmestian ada dan ketakmestian tiada sekaligus.[10] Sedang kemungkinan tidak memiliki realitas eksternal. Ia murni hasil alam mental.Hingga quiditas murni hasil analisa alam mental[11]. Sadarilah, duhai Muslim, semua keapaan yang jamak hanyalah ilusi yang tak nyata. Manusia tidur, jika ia mati maka ia akan tersadarkan.[12]
Musykilah pertama;
Padahal manifestasi jamak, maka apakah wujud tunggal dan jamak sekaligus ? Tidak, karena kejamakan tidak pernah menyentuh wujud, karena telah dibuktikan dalam makalah Yaa Nuuru Yaa Qudduusu (2) bahwa penjumlahan tidak mempunyai realitas eksternal. Tapi perlu digaris-bawahi bahwa ketunggalan wujud adalah ketunggalan hakiki yang tidak mempunyai possibilitas sama sekali (atau lugasnya; mustahil) jamak.[13]
Musykilah kedua;
Mengapa wujud memanifestasi seperti itu ? Atau dengan kata lain kenapa wujud “mengalami” coming-into-being? Al-Hajj Mulla Hadiy Sabzavary menjelaskan masalah ini dengan menyatakan; hal itu adalah sifat esensial wujud (yang tak lain adalah ke-wujud-an itu sendiri), dan setiap sifat esensial bukan subyek dari pertanyaan mengapa karena ia bukan cakupan hukum sebab akibat.[14] Dapat pula kita renungi pernyataan Muhyiddin Ibn ‘Arabi sbb; Ia meresapi seluruh maujud-maujud yang disebut “dicipta” dan “bermula”, dan jika tidak seperti itu, wujud tidak mempunyai makna apa pun.[15]
Musykilah ketiga;
Bagaimana “proses” wujud men”jamak” yang dapat memuasi “akal” ? Penjelasan deskriptif bagaimana “proses” wujud menjamak dapat dilakukan dengan cara sebanyak jumlah nafas yang ada. Teori emanasi, teori tajalli, teori keterbatasan, gradasi wujud, dll. Mungkin seorang seniman lebih intens memahaminya sebagai al-jamiil, dan ingin menjelaskan ke”mengada”an wujud dari tinjauan manifestasi Jamaliyyah. Mungkin seorang ahli kasyaf sejati lebih intens memahaminya sebagai an-nuur , dan menjelaskan berbagai tahapan wujud dengan analogi cahaya. Mungkin seorang yang lembut dan penuh misteri memahaminya sebagai al-lathiif al-qudduus, dan mengungkapkan coming-into-being ini dari hakikat Huwiyyah tersuci, dan lain-lain.
Salah satu teori deskriptif “bagaimana” wujud “men-jamak” atau proses coming-into-being adalah diungkapkan Ibn-‘Arabi sebagai berikut.
Ia adalah segala sesuatu secara hakiki. Hal-hal yang dicipta adalah terbatas, walaupun batasan-batasannya beragam. Maka, Ia dibatasi oleh batasan tiap hal yang terbatas , tiap (pem)batasan adalah sebuah (pem)batasan Realitas. [16]
Kejamakan adalah hasil operasi pembatasan Realitas, -yang tak terbatas-, sehingga terdapat berbagai pembatasan Realitas, yang disebut “makhluk”, “yang dicipta”, “quiditas’.
Tentang dzauq kesatuan realitas pada segala, seorang penyair merintih;
Keindahan mawar pada mulanya - lah merah merekahnya, pada akhirnya -lah rejam durinya
setangkai bunga tak beda dengan akarnya tak pula beza dengan durinya juga ranting-batangnya
pada mulanya kubertanya apa mawar itu, lalu kuterpana sang mawar itu, dan kuingin memetiknya
pada akhirnya kubiarkan mawar itu, tak pula kugapai, ia berkembang apa adanya, memerah apa adanya, dalam diri-ku
Mungkin ini bisa diperjelas pula oleh syair berikut
dalam setiap atom terdapat Matahari
seekor singa yang hebat di balik kulit domba[17]
Sedang, Maulana Rumi bersya`ir;
Karena pendengaran langit, bumi dan bintang-bintang yang semua adalah milikmu, ke mana sekarang mereka menghilang? Pun ke sana kau berseru, “Mari!”
Yang lain kautangkap dengan telinga sebelah, tapi kautangkap aku dengan kedua belah telingamu; dari urat setiap telinga aku berkata, “ Tabahkan dirimu selalu!”[18]
Maka, seorang Muslim menyerahkan “diri”nya pada-Nya karena memang tiada selain-Nya, tak sedih oleh bencana karena tiada selain Keindahan wujud-Nya, tak terlalu girang oleh bidadari surga karena tiada apa pun baginya selain Sang Maha Bidadari. Muslim seperti ini akan mencapai jalan termudah, jalan terindah, jalan terceria, jalan berbunga mawar, jalan cahaya dari Nama-Nama-Nya, yaitu Ia yang senantiasa berjalan di atas Shiroothol-Mustaqiim. Dan tidak ada suatu binatang melata - pun, melainkan Dia yang memegang ubun-ubunnya, karena sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang benar. [19]Wajah-wajah yang berseri, kepada Tuhan-Nya mereka menatap…
wa allohu a’lam bi ash-showab
1 Cuplikan QS Al-Hadiid 3
[1] Teruntuk Guru yang kita rindukan selalu, Sayyid Musa Al-Kazhim bin Husein Al-Habsyi, mahaguru hikmah-malamatiyyah dari Bangil, Jawa Timur, Indonesia.
[2] Seperti para filsuf peripatetis (Ibn Sina, Al-Farabi, dll)
[3] Seperti para filsuf isyraqiyyiin.
[4] Dalam kitab beliau, Kalimatullah Kitab al-Jalaalah, Pasal 1.
[5] Lihat QS Al-Ikhlash ayat 1.
[6] Lihat QS 24; 35
[7] Lihat QS 41;54
[8] “Being and existence in the philosophy of Heidegger and Sadra”,
[9] Sabzavary, Syarh-e-Manzhumeh-e-Hikmat, Eng. Trans, by Muhaqqiq dan Itsuzu, pp. 107.
[10] Sabzavary, Syarh-e-Manzhumeh-e-Hikmat, Eng. Trans, by Muhaqqiq dan Itsuzu, pp. 108.
[11]Sabzavary, Syarh-e-Manzhumeh-e-Hikmat, Eng. Trans, by Muhaqqiq dan Itsuzu, pp. 105.
[12] Saduran maknawi sebuah riwayat, lihat misalnya Ibn ‘Arabi, Fushuush al-Hikaam, pada Hikmah Nabi Yusuf (‘a.s.).
[13] DR. Sonny Yuliar dalam kuliah beliau di Asrama Bumi Ganesa, ITB, Jum’at, 25 Oktober 1996, telah menjelaskan masalah ini dalam hubungannya dengan konsep himpunan bilangan asli. Bahwa konsep “tunggal” biasanya dikaitkan dengan “satu” sebagai anggota himpunan bilangan asli {1, 2, 3, 4, 5, …}, tapi konsep tunggal bagi Tuhan adalah “satu” sebagai anggota himpunan {1}, atau “dua” sebagai anggota himpunan {2}, atau “3” sebagai anggota himpunan {3}, dst.,. Disebut sebagai “satu” atau “dua” atau “tiga” dst. Pun tidak akan memberikan “kejamakan” dan “keterbagian” atau “ketersusunan” apa-pun pada ketunggalan semacam ini. Kenapa? Karena “bilangan lain” tidak ada dan tidak pernah ada dalam himpunan semesta pembicaraan.
[14] Sabzavary, Syarh-e-Manzhumeh-e-Hikmat, Eng. Trans, by Mohaqqiq dan Itsuzu, pp. 130.
[15] Saduran dari Muhyiddin Ibn ‘Araby, Fushufh al-Hikaam, Eng. Trans. By R. W. J. Austin, pada Hikmah Nabi Hud, Suhail Acadey Lahore, Pakistan, 1988, pp. 135, akhir paragraf kedua.
[16]Saduran dari Muhyiddin Ibn ‘Araby, Fushufh al-Hikaam, Eng. Trans. By R. W. J. Austin, pada Hikmah Nabi Hud, Suhail Acadey Lahore, Pakistan, 1988, pp. 135, tengah paragraf kedua.
[17] Ibrahim Gazur I Ilahi, Ana al-Haqq, terjemahan Rajawali Press, 1986, hal. 173.
[18] Jalaluddin Rumi, Diwan Shamsi Tabriz, terjemahan Abdul Hadi W. M, Pustaka, Bandung, 1985, hal.77.
[19] Lihat QS Huud ayat 56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar