Kamis, 08 Januari 2009

Renungan

Kesempurnaan dan Wujud

Merenungi keindahan alam, lebur dalam Ke-Indahan dan Ke-Sempurnaan Zat-Nya, al-faqir berfikir tentang apa makna kesempurnaan. Sesuatu disebut sempurna jika ia memiliki kesempurnaan. Kesempurnaan sulit didefinisikan, jika pun mungkin. Tapi sekurangnya, ada syarat mesti sesuatu disebut sempurna, yaitu tidak membutuhkan apa pun selain dirinya sendiri. Karena sesuatu disebut sempurna jika memiliki kesempurnaan, maka pasti kesempurnaan itu sendiri sesuatu yang sempurna, karena sesuatu pasti memiliki dirinya sendiri. Karena itu jika kita meninjau kesempurnaan qua kesempurnaan, pasti ia tidak membutuhkan apa pun selain dirinya sendiri. Tidak membutuhkan dari segala modalitas (sudut pandang) apa pun yang mungkin.

Karena itu Kesempurnaan mesti-lah identik dengan Wujud (Keberadaan) itu sendiri.

Kenapa? Karena jika Kesempurnaan tidak identik dengan Wujud, maka ia mebutuhkan sebab untuk maujud. Karena ia membutuhkan sebab untuk maujud, maka ia tidak sempurna. Karena ia tidak sempurna, maka ia pasti ia bukan-lah Kesempurnaan. Ini suatu kontradiksi. Jadi Kesempurnaan harus identik dengan Wujud.

Atau, dengan kata lain, Kesempurnaan adalah Hakikat Zat-Nya. Karena Wujud adalah hakikat Zat-Nya.

Dan, benar bahwa Kesempurnaan tidak mungkin didefinisikan. Karena Wujud tidak dapat didefinisikan.

Dan, Kesempurnaan itu basith (sederhana, tidak tersusun). Karena mustahil bagi Wujud bersifat tidak basith.

Mungkin banyak hikmah yang akan tercurah bagi kita untuk merenungi saduran kutipan dari “40-Hadits” Imam Sayyid Ruhullah Al-Musawi Khomeini, pada saat beliau menjelaskan hadis ke-36 tentang Sifat Zattiyyah Allah Swt;

“Dengan demikian, maka jika Allah Swt. itu sederhana dan sempurna, dan jauh dari sesuatu yang menjadi keniscayaan makhluk,- yang butuh dan memerlukan sesuatu yang lain-, maka Allah Swt sempurna dilihat dari semua sisi, mencakup semua nama dan sifat, hakikat yang asli, dan Wujud yang badihi yang tidak dimasuki ketiadaan,Wujud yang di dalamnya tidak bercampur antara yang sempurna dan tidak sempurna. Dengan demikian, Allah adalah Wujud yang hakiki. Sebab, kalau sekiranya ketiadaan masuk ke dalamnya, pasti terbentuk kekurangan sesuatu yang tersusun (tidak basith), yaitu hubungan antara ketersusunan Wujud dengan al-‘adam (ketiadaan). Dia Mengetahui, Hidup, Berkuasa, Melihat, Mendengar dalam arti hakiki. Berdasarkan alasan ini, maka benarlah Imam Ash-Shadiq (a.s.) ketika beliau bersabda, “ Mengetahui adalah Zat-Nya. Berkuasa, Mendengar, dan Melihat adalah Zat-Nya.” (Catatan : Kutipan diambil dari terjemah ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan. Tapi beberapa kalimat dirubah oleh al-faqir, hanya untuk memperjelas arti kutipan, karena terjemahan sama sekali tidak jelas), wallohu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar