Senin, 05 Januari 2009

ke-faQiran ruhani (3) manik - manik doa asmara

ke-faQiran ruhani (3)

manik - manik doa asmara,

Dalam sebuah riwayat[1] Allah memesankan kepada Musa a.s.: “Wahai Musa, Kosongkanlah hatimu untuk diisi cinta-Ku. Karena Aku menjadikan hatimu medan cinta-Ku. Aku lapangkan bumi di dalam hatimu dari makrifat - Ku. Aku membangun matahari dengan kerinduan - Ku. Aku menyempurnakan bulan dengan kecintaan - Ku. Aku jadikan di hatimu penglihatan dari tafakur. Aku memperdengarkan angin di hatimu dari taufik - Ku. Aku menurunkan hujan di hatimu dari karunia - Ku. Aku menumbuhkan di hatimu pepohonan dari ketaatan-Ku. Aku meletakkan gunung di hatimu dari keyakinan - Ku.

Dan apakah hati (al-qalb) yang kosong itu? Tidak berisi. Tidak berisi pengetahuan apa pun. Tidak berisi persepsi apa pun. Tidak berisi keyakinan apa pun. Tidak berisi bersitan - bersitan imajinasi apa pun. Tidak berisi intellegebles apa pun. Kosong. Titik nol.

Betapa mungkin ? Bukankah pada hakikatnya seluruh pengetahuan kita bersifat mungkin, dan tidaklah mungkin kita memestikan kebenaran pengetahuan kita selama pembenarnya (yaitu indera, persepsi dalam arti luas) masih bersifat mungkin. Bukankah pada hakikatnya seluruh persepsi kita bersifat relatif, - menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain-, yang tentu tidak mempunyai landasan kebenaran pada persepsi sebagaimana persepsi itu sendiri? Apa lagi bersitan - bersitan imajinasi.

Meminjam istilah Shadra`iyyiin, bahkan seluruh wujud kita adalah hanya dan hanyalah wujud kopulatif[2], yang meng-ada secara relatif, - karena hubungan imajinatif satu sama lain-, dalam lautan gradasi wujud murni tiada batas ini ? Sehingga semestinyalah kita menyadari , bahwa kita secara wujudiyyah relatif, subyektif, imajinatif, gelap, bodoh dan kosong dari semua pengetahuan. Meminjam istilah anti-Descartesian, “ Aku berfikir, maka aku tidak ada”.[3]

Atau kembali mengingat kata - kata agung Syaikh Suhrawardi Al-Maqtul (q.s.);

"Ke arah manakah jalannya?" tanyaku."Ke arah mana pun kamu pergi, " katanya. "Kalau kamu pergi, kamu akan sampai.""Apakah tandanya kegelapan itu?." tanyaku "Kehitaman," katanya. " Dan kamu sendiri berada dalam Kegelapan tapi kamu tidak mengetahuinya. Orang yang pergi, ketika menyadari dirinya berada dalam kegelapan, mengetahui bahwa dia berada dalam kegelapan sebelum itu, dan bahwa dia tidak pernah melihat cahaya.[4]

Pada keadaan titik nol ini, maka hati secara otomatis akan berbunga-kesturi wangi dengan Cinta kepada Tuhan. Dan Tuhan-lah yang akan menjadi Sang Maha Wangi ! Mekar di hati. Semerbak rancak. Menyala , menjadi cahaya dan biji mata. Menjadi satu-satunya yang dikenang dan mengenang. Menjadi satu-satunya yang melihat dan dilihat. Menjadi satu-satunya Pengetahuan dan Yang Diketahui. Menjadi satu-satunya makrifat dan yang memakrifati. Meletakkan gunung keyakinan dari keyakinan - Nya. Dan adakah yang lebih baik dari itu? Maka pada saat itu mungkin hamba itu akan benar - benar menyadari bahwa Allah adalah Cahaya Langit dan Bumi.[5] Dan, Allah adalah wali orang - orang beriman yang mengeluarkannya dari kegelapan menuju cahaya[6] Atau, Tuhanku, jika tak kaudahului aku dengan kebaikan taufik - Mu maka siapakah yang akan menghantarkan aku menuju jalan yang terang ?[7]

Maka mari kita akhiri majlis kita dengan salah satu dari doa Al-Ma’shumin (a.s.); “ Jadikan kami di antara orang yang Kau kosongkan dirinya untuk diri-Mu. Yang Kau ikhlaskan untuk memperoleh cinta dan kasih-Mu. Yang kau bersihkan hatinya untuk diisi cinta-Mu. yang Kau putuskan dari padanya segala sesuatu yang memutuskan hubungan dengan-Mu.”[8]

wallohu a’lam bish-showwab



[1] Bihar al-Anwar, 15:39. Terjemahan diambil dari “Muatan Cinta Ilahi”, Pustaka Hidayah, kumpulan doa-doa Ahlul-Bait (a.s.), hal. 55-56.

[2] Mulla Hadi Sabzavary, Syarhe Manzhumehe Hikmat ( Engish Translation by Mehdi Mohaghghegh & Tosihiko Itsuzu), pp. 99.

[3] Bukan seperti ucapan Rene Descartes, “Aku berfikir, maka aku ada”, yang mendasari seluruh aliran eksistensialisme humanistik dan individualistik.

[4] Syaikh Al-Isyraq Syihabuddin Yahya As-Suhrawardi, “Hikayat-Hikayat Mistis”, Mizan, 1991, 57-58.

[5] QS An-Nur;35

[6] QS Al-Baqarah; 256

[7] Terjemahan bebas dari cuplikan doa Ash-Shobah, Mafatih Al- Jinan.

[8] Muatan Cinta Ilahi, Mizan, doa ke - 44, hal. 43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar