Senin, 05 Januari 2009

ke-faQiran ruhani

ke-faQiran ruhani

Demi Allah, andaikata hatimu mencair seluruhnya, matamu mengalirkan air mata darah karena rindu atau takut kepada-Nya, dan kamu juga diperkenankan tinggal selama dunia ini maujud, maka amalmu takkan dapat membayar kemurahan-Nya yang besar serta tuntunan-Nya dalam keimananmu.

(Kutipan dari Khotbah 52, Nahjul Balaghah, Imam ‘Ali bin Abi Thalib (k.w.))

Adakah ungkapan yang lebih indah tentang kefakiran-esensial ruhani kita, - baik itu adalah hati yang telah mencair, mata yang telah mengalirkan airmata darah karena rindu atau takut kepada-Nya-, dalam membayar kemurahan-Nya dan hidayah- Nya? Bukankah Qur’an Suci mengatakan; “Allah Maha Kaya dan kamu semua miskin (fuqaraa`)”[1]

Ia, wujud murni, yang bebas dari semua penyifatan, terbebaskan dari seluruh kebutuhan. Ia-lah yang Maha Kaya dan Terpuji (al-ghoniyyul-hamiid). Sedangkan esensi seorang manusia, hanyalah fakir-miskin, peminta-minta yang senantiasa meraung - raung kesakitan dalam kehinaan serta bergeletar tangannya mengetuk-ngetuk pintu rahmat-Nya....wa ana ‘abdukadh-dho`iifudz-dzaliilul-haqiirul-miskiinul-mustakiin[2] Bukankah esensi kita hanyalah potensi - potensi yang tenggelam dalam palung ketiadaan mutlak yang senantiasa menanti pelukan Ia, Sang Maha Wujud, sehingga terasalah aliran Kenikmatan dan Keindahan wujud manakala Ia mengecup kita dengan rahmat-Nya?

Diriwayatkan bahwa telah bersabda Rasulullah (S.A.W.): “ Kemiskinan ruhani adalah kebanggaanku” (“al-faqru fakhriy”)[3] Dan apakah kemiskinan? Adalah ke-papa-an, ke-takpunya-an, ke-gelap-an, ke-takcahaya-an, ke-hina-an, ke-terhina-an. Sungguh bagi para faqiir, tak ada apa-pun yang patut dibawa dan ditunjukkan kehadapan -Nya kelak kecuali ke-papa-an dan ke-terhinaan-nya ini! Dan lidah mereka pun senantiasa bergeletaran dengan guman puja dan puji kepada - Nya , Yang Maha Kaya Tiada Tara, Yang Maha Cantik Tiada Terkata, Yang Maha Sempurna dan senantiasa Sendiri dalam ‘Izzah dan Kesempurnaannya. Sungguh Ia benar-benar Maha Kaya lagi Terpuji. Alhamdu lil-laahi robbil-’aalamiin.

Saya teringat sebuah adengan yang mengharukan dalam film kartun “Huchback of Notredame” ketika Esmeralda, - seorang wanita gipsy[4] - terdampar di gereja Notre Dame yang agung. Terdapat sebuah acara doa di gereja besar tersebut. Orang-orang berdoa meminta kemakmuran, meminta harta, meminta kesuksesan dan keagungan. Sedang Esmeralda menyapa Maria lembut, “Aku tak tahu apakah orang se-hina aku ini patut menyapa-mu dan meminta pada Tuhan-mu, dan aku - pun yakin sepenuhnya akan kehinaanku. Maka, aku tak - kan minta apa - apa kepada Tuhan. Tuhan, lakukan apa saja sesuka - mu . lakukan apa saja yang Engkau Kehendaki. Maha Agung Engkau Yang Maha Mewujudkan segala - nya sesempurnanya.”[5]

Sebagian orang beribadah untuk mendapatkan dunia, rizki, kemakmuran dan ketenangan hidup di dalamnya. Sebagian orang beribadah untuk mendapatkan akhirat, bidadari, kekekalan kenikmatan yang ada di dalamnya. Sebagian orang lagi tak menginginkan dunia dan akhirat, namun hanya - lah menginginkan Ridho dan Wajah - Nya. Tapi ada sebagian orang, - yang demikian papa dan papa-, tenggelam dalam kehinaan kemiskinannya. Ia terpaku di sajadah nya, beserta butiran-butiran air mata serta jantung nan berdetak berdegupan. Tak mengucapkan apa pun di depan Hadhirat Tuhan - Nya, melainkan ilaahii qolbii mahjuub, wanafsii ma’yuub, wa’aqli maghluub, wa hawaa`ii ghoolib (Tuhanku hatiku bertabir, jiwaku berkekurangan, akalku terkalahkan dan hawa nafsuku telah memenagkan) ......, dan ia sadar akan ke-miskinan ruhani-nya yang teramat kronis dan fatal hingga mengotori seluruh doa dan tasbihnya....., maka ia ucapkan waf’al bi maa anta ahluh yaa kariim (lakukan apa yang Kau adalah ahlinya Wahai Yang Maha Mulia)..... walhamdulillaahi robbil ‘aalamiin.

Bukankah Lao Tsu telah berkata[6]

Betapa pun kuatnya seorang laki-laki, bila ia tetap menyadari kelembutan wanita, ia akan puas walau harus menempati kedudukan yang terendah di dunia

Bila ia puas dengan kedudukan yang terendah di dunia selalu menyadari jati dirinya, ia memiliki kemurnian seperti bayi yang baru dilahirkan

Bila seorang laki-laki yang murni, tidak menolak ketidakmurnian lingkungannya, maka ia akan puas tinggal di tempat yang sangat rendah

Bila ia merasa puas tinggal di tempat yang terendah di dunia, dan selalu menyadari jati dirinya, ia akan kembali ke kesederhanaan alam

Bila seorang laki-laki yang menyadari daya tarik status, tapi puas dengan ketidakpedulian, ia akan menjadi lemah bagi segala makhluk di bumi

Berada dalam lembah dunia, ia akan kekal dalam kebaikannya. Ia kembali ke alam Tao.

Akhirul-kalam marilah kita renungi bersama untaian kata berikut ini[7]; Kegelapan adalah Cahaya dari Zat. Di dalamnya adalah air kehidupan.

wallohu a’lam bish-showwab.



[1] QS 47:38

[2] Cuplikan dari doa Kumail ‘Ibnu Ziyad, Imam ‘Ali bin Abi Thalib (k.w.)

[3] Lihat S. H. Nasr, “Spiritualitas dan Seni Islam”, terjemahan Mizan, hal. 60.

[4] Pada zaman itu (sebelum Renaissance) wanita gipsy di Paris hampir selalu diidentikan dengan pelacur.

[5] Cuplikan sedikit di-edit oleh penulis.

[6] Dalam versi Tsai Chih Chung, kartunis dan budayawan populer Cina.

[7] “Anal-Haqq”, terjemahan Rajawali Press, hal. 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar