Sabtu, 03 Januari 2009

Aspek-Aspek Perancangan Situs Web

Aspek-Aspek Perancangan Situs Web

Yudhista Aditya *)


Seperti halnya semesta yang konon terus mengembang mengisi kekosongan yang disisakan Big Bang, demikian halnya peradaban manusia. Teknologi, sebagai salah satu utilitas penting dalam hidup manusia pun mengalami itu.

World wide web – biasa disingkat www – mengalami pembiakan dan pengembangan yang mencengangkan dari tahun ke tahun[1]. Dunia kecil dalam wahana internet ini mengalami perkembangan ke segala arah. Baik infrastruktur, suprastruktur, maupun hal lain yang bersangkutpaut dengan keberadaannya, menghadirkan varian-varian baru pendukung teknologi ini.

Angka pertumbuhan fantastis dalam jumlah situs web, utamanya dipicu oleh kehadiran aplikasi-aplikasi web editing. Aplikasi jenis ini dikembangkan besar-besaran sejak tahun 1997. Pada masa sebelum itu, para komposer[2] situs web hanya dapat menggunakan utilitas sederhana seperti NotePad atau WordStar untuk menuliskan kode-kode HTML[3] dan pemrograman.

Kemunculan perangkat lunak baru yang memudahkan para komposer situs web ini, ternyata punya dampak yang tak sesederhana penampakannya. Bisa dikata, “revolusi” ini membuat para komposer web melepas sebagian legitimasi kesaktiannya atas bidang ini. Persaingan antara manusia dengan mesin, ternyata bukan cuma ada di buku sejarah dan kisah fiksi. Babak baru ini mendorong munculnya pemain-pemain baru di bidang telematika sektor ini.

Namun di sisi lain, “revolusi” kecil ini juga punya dampak pada tingkat keinsyafan desainer web “angkatan baru” atas keterbatasan dan kelebihan teknologi yang kini menjadi bilah pedangnya mengoyak tantangan. Penyamaan proses desain web dengan desain grafis, merupakan satu kekhilafan yang serius dan lazim. Situs web bukanlah patung massif yang dibentuk dari anasir kasat mata. Situs web adalah kendaraan bermesin atau jam dinding. Dia memiliki bentuk, dimana kerupaannya tunduk pada utilitas sistem yang membuatnya punya manfaat praktis.

Tentu saja tulisan ini tak dimaksudkan mengungkit perdebatan klasik antara “content is the king” dan “perception is reality”. Pengetahuan teknis atas medium (betapapun amat terbatas), sangat membantu pengkarya menghasilkan karya-karya terbaiknya. Karya terbaik, lahir dari rahim keinsyafan.

Perancangan yang manusiawi

Perancangan di bidang apapun, semestinya menempatkan manusia sebagai subyek. Internet sendiri bahkan sudah menunjukkan bagaimana nomor IP (internet protocol), mesti terlupakan keberadaannya karena popularitas nama domain telah mencerabutnya dari benak pengguna internet. Dan, hal yang sama berlaku pada banyak hal.

People are always in hurry, merupakan salah satu hal yang menjadi pertimbangan dalam pendesainan situs web. Mayoritas pengguna internet harus membayar untuk setiap menit yang mereka gunakan untuk mengakses internet. Pemeo lama ‘time is money’ benar-benar berlaku di sini. Situs web yang baik akan memperhatikan aspek yang satu ini. Dampaknya, komposer situs harus memertimbangkan kecepatan loading situs yang dibuatnya[4], juga seberapa cepat pengguna situs dapat menemukan informasi yang dia butuhkan dan menggunakan resource yang tersedia di situ secara maksimal.

Steve Krug[5], mengemukakan hukum pertama dalam web usability adalah: “Don’t make me think!”. Kemudahan pengguna untuk mencari informasi yang dibutuhkannnya dari sebuah situs, merupakan hal yang paling pokok dalam perancangan visual situs web. Faktanya, pengunjung situs tidaklah membaca keseluruhan isi halaman web, namun mereka melakukan scanning sembari menebak-nebak di mana keberadaan informasi yang dibutuhkannya berada. Pemanfaatan konvensi umum yang berlaku dalam situs-situs web yang sudah ada, akan membantu pengguna situs dalam menelusuri isi situs yang kita buat. Users overwhelmengly prefer sites which employ common web conventions (Nielsen, 1997).

Lebih jauh, jika menyangkut gambaran umum demo-psikografi peselancar situs web (konon hanya 20% dari penggunaan internet secara umum), dapat ditemukan fakta sebagai berikut:

· Yahoo adalah internet itu sendiri, dan Google adalah browsernya
Meski sepintas terlihat lucu, namun ternyata hal inilah yang berlaku. Dalam benak kebanyakan pengguna web, inilah yang ada. Maka sebagaimana hasil penelitian selama 2 tahun yang dilansir Alexa Research (2001), berjuta orang memasukkan URL situs yang mereka tuju bukan pada address bar yang ada pada jendela browser, namun pada search box Yahoo atau Google[6].

· Pria muda berpendidikan tinggi, mengerti bahasa inggris, mayoritas pengguna internet
Berbagai survey mengatakan bahwa mayoritas pengguna internet dalam segi gender adalah pria(8:3, mwnurut GVU’s 5th User Survey, 1996). Bahasa yang paling banyak digunakan adalah bahasa Inggris (40% pengguna internet adalah pengguna bahasa Inggris aktif sebanyak 128 juta orang, disusul Jepang, Jerman, Spanyol, Prancis, dan China). Dari segi usia, prosentase paling padat diduduki pengguna usia 18-25 tahun (22,27%), menurut GVU’s 5th User Survey.

Survey-survey lain, tentu masih banyak yang belum diungkapkan di sini. Data-data yang dihasilkannya pun dapat menjadi lebih variatif.

Seperti halnya di Indonesia, yang sampai sekarang masih belum ada data tentang pengguna dan kebiasannya berinternet. Asumsi umum yang berlaku adalah pengguna internet Indonesia masih ada dalam kisaran 1 hingga 2% dari jumlah keseluruhan populasi.

Mendesain dengan tujuan majemuk

Perancang situs web, kini dihadapkan pada tantangan yang tak sedikit. Sasarannya variatif, meski tujuannya satu. Ini sebab yang menjadikannya makin kompleks. Apabila diklasifikasikan secara umum, ada empat kriteria QC yang mesti ditempuh untuk dapat memvonis suatu web memiliki bobot kualitas overall atau tidak.

1. Pengelolaan situs web

a. Seberapa mudah pengelola situs dapat memperbarui situsnya sembari mengarsipkan dokumen lama dalam situs yang sama?

b. Apakah pengelola situs bisa mendapatkan data tentang traffic yang masuk ke dalam situsnya?

2. Search-engine friendly

a. apakah situs web dan halaman-halaman didalamnya memiliki cukup meta-data untuk dapat diindeks oleh situs pencari secara tepat?

b. Sudahkah situs yang kita buat itu diindeks oleh salah satu search engine atau web-directory, atau specified web directory?

c. Apakah penataan konten situs web dapat diindeks bot-crawler secara efisien?

d. Apakah sudah cukup data-data alternatif seagai pengganti elemen halaman yang tak dapat diindeks bot-crawler secara langsung?

3. Browser-friendly

a. Apakah keseluruhan elemen tak mengalami distorsi ketika dibrowse menggunakan browser yang berbeda?

b. Apakah tampilan situs tetap dapat terbaca dan tak terdistorsi secara ekstrim ketika ditampilkan di resolusi layar komputer yang lebih tinggi atau lebih rendah dari nomal?

c. Apabila beberapa fungsi pemuncul inline image, embeded plugin, dan java script dimatikan user, apakah user tetap dapat membrowse situs tanpa kehilangan arah?

4. Kenyamanan pengunjung situs

a. apakah user dapat secara cepat menemukan informasi yang diingininya?

b. Apakah halaman kita sudah cukup menyajikan interaktifitas yang diperlukan?

c. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk meload sebagian atau keseluruhan halaman web?

d. Apakah penempatan elemen-elemen visual non-teks sudah memiliki nilai guna yang semestinya?

e. Apakah user dapat secara cepat kembali ke halaman utama melalui halaman-halaman yang ada di dalamnya?

f. Apakah penampakan menu dan hyperlink sudah mengikuti konvensi umum atau internal style yang tak merancukan?

g. Apakah keseluruhan elemen visual sudah sesuai dengan segmen yang dituju?

Setidaknya, kriteria ini dapat menjadi semacam acuan kecil dalam perancangan situs web. Pelanggaran atas suatu konvensi maupun standar umum lainnya, dapat dilakukan atas dasar yang masuk akal. Fatwa populer yang dikemukakan Jakob Nielsen, Flash is 99% bad, bukanlah harga mati.

Di sisi lain, ini juga merupakan satu gambaran bahwa pengerjaan situs web dengan standar kualitas yang tinggi, amat sulit untuk dilakukan secara individual.

*) Disampaikan dalam kuliah tamu “Web Publishing”, di Gedung AVA-E6 Universitas Negeri Malang., pada tanggal 10 Februari 2003. Makalah dapat didownload di http://www.indietown.com/materi

**) penulis adalah perancang dan pengelola situs web. Terlibat dalam perancangan dan pengelolaan situs antara lain www.endonesa.net , www.edukasi.net , dan www.indietown.com



[1] Menurut data yang dikumpulkan David Taylor’s Inside Track, pada tahun 2000, di internet terdapat 60-100 juta situs web aktif. Bandingkan dengan data tahun 1996 yang baru mencatat adanya 1 juta situs web.

[2] Saya menggunakan term ini untuk menggambarkan kompleksitas pembuatamn situs web. Istilah yang lebih dulu populer, webmaster, kini lebih merujuk pada persona yang menguasai semua aspek pembangunan situs web dari hulu ke hilir. Term komposer dapat merujuk pada programmer dan desainer visual situs web.

[3] Hypertext MarkUp Language, bahasa pengkodean yang memiliki sistem penulisan lebih sederhana daripada bahasa program. Bahasa ini pula yang menjadi tulang punggung web, dirilis dalam satu paket dengan protokol pentransferan dokumen hypertext (HTTP=hypertext transfer protocol).

[4] Shoppers with slow 14,4kb modems represent a loss in e-commerce sales of $ 73 million each months (The need for Speed, www.zonaresearch.com, 1999). Atau dalam data yang dipublikasikan Web Site Journal (websitejournal.netscape.com, 1999), kecepatan loading yang ditoleransi pengguna situs web berkisar antara 8 hingga 20 detik. Menurut studi BCG, user akan meluangkan waktu rerata 5,8 menit untuk mencari informasi di sebuah situs.

[5] Krug, Steve. 2000.Don’t Make Me Think, A Common Sense Approach to web Usability. Indianapolis, USA, New Riders publishing.

[6] Atas fenomena ini , Krug berkomentar: “even technically savvy users often have surprising gaps in their understanding of how things work”. Dan mungkin ini pula sebab mengapa search listing advertisement memiliki tingkat atensi lebih tinggi daripada banner advertisement di web., dan topik SEO (search engine optimization) menjadi teknik yang menarik dikembangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar