Selasa, 30 Desember 2008

PENDIRI MAZHAB CINTA

ALI BIN ABI THALIB; PENDIRI MAZHAB CINTA

Saat searching, saya menemukan tulisan ini dari DR. Jalaluddin Rahmat. Tekanannya pada ajaran cinta yang diajarkan oleh Imam Ali Al-Murtadla as, sangat menarik bagi saya.. selamat membaca..

*****

Satu-satunya manusia yang dilahirkan di bawah naungan Ka’bah adalah Ali bin Abi Thalib. Ketika ibunya, Fathimah binti Asad, dalam keadaan hamil tua, ia thawaf mengelilingi Ka’bah. Pada saat itulah, datang tanda-tanda bahwa ia akan segera melahirkan. Abu Thalib lalu membawanya masuk ke dalam Ka’bah dan di tempat itulah Ali bin Abi Thalib lahir.

Menurut satu riwayat, ibunya meminta agar anak yang baru lahir itu diberi nama Haidar, yang berarti singa. Kakek dari arah ibunya bernama Asad, yang juga berarti singa. Tetapi Abu Thalib berkata, “Kita tunggu saja sampai Rasulullah saw datang.” Masih menurut riwayat ini, Ali kecil tidak mau menyusu kepada ibunya sebelum Rasulullah saw datang. Ketika Rasulullah saw tiba, ia mengecup Ali dan Ali pun mengecup Nabi. Rasulullah saw menamainya ‘Ali yang berarti orang yang memiliki ketinggian. ‘Ali adalah salah satu nama Tuhan. Misalnya dalam ayat, “Wa lâ ya’udduhû hifzhuhumâ wa huwal ‘aliyul ‘azhîm.” (QS. Al-Baqarah 255). Sama halnya dengan nama Muhammad, yang juga merupakan nama Tuhan, seperti dalam hadits Qudsi, “Ana Mahmud, wa anta Muhammad. Aku Tuhan adalah Yang Terpuji dan engkau juga adalah yang terpuji,”

Ali tumbuh besar bersama Rasulullah saw. Ketika Abu Thalib mengalami kebangkrutan dalam usahanya, ia mengirim putra-putranya ke tempat para saudaranya. Ali bin Abi Thalib diambil oleh Rasulullah saw. Ia dipelihara di dalam keluarga Nabi bersama Sayyidah Khadijah Al-Kubra. Karena Rasulullah saw tidak mempunyai anak laki-laki, Nabi sering memperlakukan Ali bin Abi Thalib sebagai anak laki-lakinya.

Setelah Rasul meninggal dunia, ia sering bercerita bagaimana beliau suka merapatkan tubuhnya kepada tubuh Rasulullah saw. Imam Ali kw berkata bahwa ia masih dapat mengenang harumnya tubuh Rasul yang mulia. Rasul sangat mencintai Ali dan Ali pun sangat mencintainya.

Kelak pada zaman pemerintahan Muawiyah, Muawiyah menerapkan peraturan yang mengharuskan khatib di setiap akhir khutbahnya untuk melaknat Imam Ali kw. Orang dipaksa untuk menghujat Imam Ali kw. Ada seorang sahabat Nabi yang pergi ke mimbar untuk melaknat Imam Ali kw tetapi ia hanya berkata, “Demi Allah, ada tiga hal yang menyebabkan aku tidak mungkin mengutuk Ali bin Abi Thalib. Jika salah satu dari tiga hal itu saja ada pada diriku, itu lebih baik dari dunia dan segala isinya.” Hal pertama ialah bahwa Rasulullah saw pernah berkata sebelum Perang Khaibar, “Akan kuserahkan bendera kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian setelah itu, bendera diserahkan kepada Imam Ali kw. Lalu sahabat Nabi itu menyebut dua lagi peristiwa penting. Saya kutip hadits itu untuk menyatakan bahwa kecintaan Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib dinyatakan secara terbuka.

Ada sebuah hadits yang diterima keshahihannya oleh seluruh madzhab tetapi ditafsirkan berlainan. Hadits itu bercerita tentang peristiwa pada Haji Wada’, tanggal 18 Dzulhijjah. Ketika Rasulullah saw pulang bersama rombongan hajinya dari Mekkah menuju Madinah, di suatu mata air bernama Khum, Rasulullah saw berhenti. Ia melingkarkan serbannya kepada Imam Ali kw. Nabi mengangkat tangan Ali dan bersabda, “Man kuntu maulâh, fa hâdza ‘Aliyyun maulâh. Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, hendaknya menjadikan Ali sebagai maulanya.”

Menurut penafsiran Ahlu Sunnah, yang dimaksud dengan maulâ di situ artinya adalah kekasih. Barang siapa yang menjadikan Nabi sebagai kekasihnya, hendaknya ia juga menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai kekasihnya. Penafsiran itu tidak salah. Ali adalah seseorang yang sangat dicintai dan dikasihi Rasulullah saw.

Ketika terjadi Perang Khandak, seorang kafir bernama ‘Amr ibn Wud ingin memulai pertempuran dengan mengajak duel. Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat-sahabatnya, “Siapa yang mau melawan ‘Amr ibn Wud?” Semuanya diam, kecuali Ali yang masih sangat muda. Ia berdiri dan berkata, “Saya, Ya Rasul Allah.” “Tidak,” jawab Rasul, “aku cari orang yang lebih tua.” Lalu Rasulullah saw menawarkan lagi kepada para sahabat tetapi tetap tidak ada yang menjawab. Semua orang tahu siapa ‘Amr ibn Wud. Ia adalah jago pedang yang tak terkalahkan.

‘Amr mengancam dari kejauhan, “Katanya kalau kalian mati dalam peperangan, kalian akan masuk surga. Siapa yang bersedia aku antarkan dengan cepat masuk ke surga?” Ancaman itu tidak ada yang menjawab kecuali Ali yang untuk kedua kalinya berdiri. Rasul kembali berkata, “Duduklah kamu sampai aku cari yang lebih tua lagi.” Ketika untuk ketiga kalinya, masih tidak ada yang menjawab seruan itu, Rasulullah saw mengirim Ali bin Abi Thalib. Kepadanya diberikan Pedang Dzulfiqar.

Saat Ali bin Abi Thalib berangkat, Rasulullah saw menangis dan bersujud di medan peperangan. Rasul berdoa, “Ya Allah, Engkau telah mengambil Abu Ubaidah, Engkau telah mengambil Hamzah dari diriku. Janganlah Kauambil Ali.”

Terjadilah duel itu. Suatu pertempuran yang amat dahsyat. Rasulullah saw menggambarkannya sebagai perang antara seluruh keislaman dan seluruh kekafiran. Mungkin yang dimaksud Rasul ialah, sekiranya Imam Ali kw kalah, maka kalahlah Islam secara keseluruhan dan jika Imam Ali kw menang, maka menanglah Islam secara keseluruhan. Atau barangkali yang beliau maksudkan ialah bahwa kepribadian Ali bin Abi Thalib itu mencerminkan seluruh keislaman dan kepribadian ‘Amr ibn Wud itu mencerminkan seluruh kekafiran. Singkat cerita, kita tahu akhirnya Sayidina Ali yang memenangkan pertempuran. Ketika ia kembali, Rasulullah saw menciuminya dengan berurai air mata.

Pernah satu saat Imam Ali kw dikirim untuk menaklukan pemberontakan yang tidak bisa ditaklukan oleh para sahabat Nabi yang lain. Ketika Ali pulang dari tugas itu, sambil memeluk Ali, Nabi bersabda, “Kalau aku tidak takut umatku akan memperlakukan kamu seperti orang-orang Kristen memperlakukan Nabi Isa as, akan aku ceritakan kepada mereka sesuatu yang sekiranya jika engkau lewat, orang akan memperebutkan bekas injakan kakimu.” Kemudian Rasulullah saw mengatakan sesuatu kepada Imam Ali kw dalam waktu yang lama. Karena lamanya hal itu, para sahabat bertanya-tanya ihwal apa perbincangan itu. Setelah Imam Ali kw keluar, ia berkata, “Baru saja Rasulullah saw membukakan kepadaku satu bab ilmu pengetahuan. Dan dari satu bab itu dibuka lagi seribu bab ilmu pengetahuan yang lain.”

Rasulullah saw mendidik Imam Ali kw sejak kecil. Jika kita ingin tahu siapa kader Rasulullah saw yang dikaderkan sejak awal, maka itulah Imam Ali kw. Saya sebut sebagai ‘kader’, karena Rasulullah saw benar-benar mempersiapkan Imam Ali kw sejak awal. Rasulullah saw mengajarkan kepadanya satu pelajaran khusus yang tidak diberikan kepada sahabat-sahabatnya yang lain. Sebagian di antara kita merasa berkeberatan akan hal ini, “Masa Rasulullah saw mengajar dengan pilih kasih. Bukankah salah satu sifat Nabi adalah Al-Tabligh? Jadi, Nabi harus menyampaikan seluruhnya. Masa Nabi menyembunyikan kepada sebagian sahabat dan hanya menyampaikan kepada Ali bin Abi Thalib?”

Rasulullah saw adalah guru yang baik. Seorang guru yang baik tidak akan mengajarkan seluruh ilmu kepada semua orang. Ilmu itu hanya diajarkan sesuai dengan tingkat pengetahuan orang yang diajar itu. Imam Ali kw sebagaimana diakui oleh para sahabat yang lain adalah orang yang paling tinggi derajat keilmuannya. Karena itulah, tentu saja ada ilmu yang diajarkan kepada Imam Ali kw, yang belum bisa disampaikan kepada sahabat Nabi yang lain yang kualifikasi keilmuannya belum sampai ke situ.

Tentang ilmu Imam Ali kw ini, Rasulullah saw bersabda, “Ana madînatul ‘ilmi, wa ‘Aliyyun bâbuhâ. Fa man arâdal madînah, fal ya’tihâ min bâbihâ. Akulah kota ilmu dan Alilah pintunya. Barang siapa yang mau memasuki kota, hendaklah ia datang melalui pintunya.” Hadits ini sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah saw. Nabi mengkaderkan Ali sejak awal dengan maksud untuk mempersiapkannya sebagai pelanjut yang akan meneruskan ajaran Islam sepeninggal Rasulullah saw.

Ketika Rasulullah saw meninggal dunia, umur Imam Ali kw masih muda. Sekitar tigapuluh tahunan. Seperti kita ketahui, Ali masuk Islam pada usia yang amat belia, sepuluh tahunan. Imam Ali kw dikenal sebagai orang yang pertama kali masuk Islam. Sebagian orang memperkecil hal ini dengan mengatakan bahwa Ali itu lelaki pertama yang masuk Islam, karena yang pertama kali masuk Islam adalah Sayyidah Khadijah. Belakangan, kenyataan ini diturunkan lagi dengan menyatakan bahwa Ali adalah anak-anak yang pertama masuk Islam, karena laki-laki yang pertama masuk Islam itu adalah Abu Bakar. Malahan ada juga yang masih menurunkan hal ini dengan mengatakan bahwa keislaman Sayidina Ali adalah tidak sah, karena beliau masuk Islam ketika masih kecil.

Ciri-Ciri Mazhab Alawi

Imam Ali kw adalah pemberi ruh suatu mazhab di dalam Islam. Yang saya maksud dengan mazhab adalah cara memahami Islam. Islam itu satu, tetapi bagaimana orang memahami dan mengamalkan ajaran Islam, itu berbeda-beda. Dan itu sudah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. Hampir setiap sahabat mendirikan mazhab. Ada Mazhab Umari dari Umar ibn Khattab, Mazhab Abdullah ibn Umar, Mazhab Abdullah ibn Mas’ud, dan Mazhab Abu Hurairah. Setiap sahabat memiliki mazhab sendiri-sendiri disebabkan dalam memahami agama Islam, pendapat mereka berlainan. Karena itulah, amalan yang dikerjakannya pun berlainan. Dalam Ilmu Komunikasi ada yang disebut dengan Teori KAP atau Knowledge, Attitude, dan Performance. Setiap orang mempunyai knowledge atau pengetahuan yang berbeda, yang tidak mungkin sama dengan orang lain. Jika pengetahuan berbeda, maka attitude atau sikap kita pun berbeda. Dan jika sikap berbeda, maka performance atau perilaku pun akan berbeda. Suatu mazhab adalah rangkaian Knowledge, Attitude, dan Performance dari sebuah agama.

Di Indonesia saja, terdapat banyak mazhab. Misalnya saja suatu mazhab melarang orang untuk menangis bila ditinggal mati oleh anggota keluarga atau orang yang dicintainya. Menurut pengetahuan (knowledge) mereka, ada sebuah hadits Nabi yang mengatakan bahwa mayit akan disiksa oleh tangisan keluarganya. Dari situ tumbuhlah sikap (attitude) tidak senang kepada orang-orang yang menangis kalau ditinggal mati dan sikap senang kepada orang-orang yang tidak menangis bila ditinggal mati. Jika seorang isteri tidak meneteskan air mata setitik pun ketika suaminya meninggal dunia, orang akan memujinya, “Hebat, itulah isteri yang sabar dan tabah.” Dari sikap itu timbul perilaku (performance) kita untuk tidak menangis bila kita ditinggal mati. Jadi, kita bisa melihat hubungan antara Knowledge-Attitude-Performance.

Sebagian mazhab lain berpendapat, mereka memiliki pengetahuan bahwa Rasulullah saw pernah menangis ketika ditinggal mati oleh putranya, Ibrahim. Ibrahim ialah putra Rasul dari Maria Al-Qibthiya yang lahir di Madinah. Rasulullah saw sangat menyayanginya karena Rasul belum pernah mempunyai anak laki-laki. Setiap selesai Shalat Ashar, Rasul selalu menggendong Ibrahim mengelilingi Kota Madinah. Ketika dalam usia yang masih sangat kecil, Ibrahim meninggal dunia. Rasulullah saw menangis. Beliau ditegur sahabatnya, “Ya Rasul Allah, kenapa kau menangis?” Rasulullah saw menjawab, “Inilah tangisan kasih sayang.” Mazhab ini berpengetahuan bahwa menangis ketika ditinggal mati itu dicontohkan Nabi untuk mengungkapkan kasih sayang. Dari hal itu, tumbuh sikap senang jika melihat orang yang menangis ketika ada yang meninggal dunia. Orang itu dilihat sebagai orang yang penuh kasih sayang. Mazhab ini pun menilai bila ada orang yang tidak menangis ketika ditinggal mati, maka orang itu bukanlah orang yang tabah, melainkan orang yang tidak punya kasih sayang. Perilaku yang muncul dari hal ini ialah jika ia ditinggal mati, ia akan menangis.

Kedua mazhab di atas sama-sama memahami ajaran Islam. Tetapi pengetahuan-nya berbeda, sikapnya berlainan, sehingga kemudian akhirnya perilakunya pun tidak sama.

Di zaman Nabi, setiap sahabat memiliki mazhabnya masing-masing. Secara garis besar, kita bisa membaginya ke dalam dua kelompok; kita sebut saja Mazhab Ali bin Abi Thalib (Mazhab Alawi) dan Mazhab Umar bin Khattab (Mazhab Umari). Apa perbedaan kedua mazhab ini? Mazhab Ali ditandai dengan keyakinan bahwa seluruh sunnah Rasulullah saw, baik dalam bidang akidah, ibadah, maupun mualamalah, harus diikuti tanpa kecuali. Menurut Mazhab Ali, Rasulullah saw tidak pernah berijtihad, karena ketentuan Nabi adalah nash. Rasulullah saw tidak pernah berbicara atas hawa nafsunya, melainkan atas wahyu yang diterimanya. Wa mâ yanthiqu ‘anil hawâ in huwa illâ wahyu yûhâ. (QS. Al-Najm 3) Rasulullah saw tidak pernah salah. Oleh karena itu, kita harus mengikuti semua yang diajarkan Rasulullah saw.

Adapun Mazhab Umari berpendapat bahwa kita harus mengikuti Rasulullah saw di dalam dua hal saja; urusan akidah dan ibadah. Dalam bidang muamalah atau keduniaan, Rasulullah saw tdiak wajib dipatuhi. Menurut mazhab ini, Rasulullah saw juga suka berijtihad dan kadang-kadang ijtihadnya salah. Oleh sebab itu, tidak perlu kita ikuti ijtihad yang salah. Rasulullah saw sering alpa dan salah. Bahkan Rasulullah saw pernah ditegur Allah swt dan kemudian dibetulkan oleh sahabatnya, seperti dalam peristiwa Perang Badar. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh mazhab ini, ketika perang berkecamuk, terdapat banyak tawanan. Rasulullah saw menginginkan agar tawanan itu dibebaskan dengan sejumlah uang tebusan. Sedangkan Umar bin Khattab menghendaki agar tawanan itu dibunuh saja semua. Akhirnya turun satu wahyu yang membenarkan Umar dan menyalahkan Rasulullah saw. Malahan Rasulullah saw ditegur Allah swt, “Kamu mencintai dunia, sementara Umar mencintai akhirat.”

Saya tidak akan lebih lanjut membandingkan kedua mazhab ini secara keseluruhan. Saya hanya akan memberikan ciri-ciri khas dari Mazhab Alawi. Ciri yang pertama, Mazhab Alawi menerima seluruh sunah Nabi. Baik dalam hal akidah, ibadah, ataupun muamalah. Tidak ada pemisahan antara urusan dunia dan urusan agama. Tidak ada dalam mazhab ini hadits yang berbunyi, “Antum a’lamu fî umûrî dunyakum. Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” Ciri yang kedua, Mazhab Alawi ialah mazhab yang sangat mencintai persatuan di antara kaum Muslimin. Imam Ali kw sangat mencintai persatuan sehingga ketika ada orang yang berontak kepadanya, ia malah mengirim surat yang isinya mengajak mereka untuk berdamai. Bahkan ketika Imam Ali kw pernah hampir memenangkan suatu pertempuran, lawannya mengajak berdamai sehingga Imam Ali kw menghentikan peperangan. Tentu saja, hal ini menimbulkan reaksi dari para pengikutnya sendiri yang hampir memperoleh kemenangan.

Kecintaan Imam Ali kw terhadap persatuan kaum Muslimin dapat kita lihat dari suatu peristiwa peperangan antara Imam Ali kw dengan sesama umat Islam lagi. Saat itu, ada seseorang yang bingung harus bergabung ke kelompok mana. Karena kedua-duanya adalah kaum Muslimin. Ia bertanya kepada Amar bin Yasir -yang sudah berusia amat tua. Amar berkata, “Kau lihat bendera di sebelah sana? Dahulu di bawah bendera itu, kami berjuang bersama Rasulullah saw untuk membela turunnya Al-Qur’an. Sekarang di bawah bendera itu, kami berjuang untuk membela penafsiran Al-Qur’an. Dahulu kami berperang ‘ala tanzîlil Qur’ân, sekarang kami berperang ‘ala ta’wîlil Qur’ân”

Orang-orang bertanya kepada Imam Ali kw, “Mau Anda sebut apa orang yang memerangi Anda itu?” Seseorang meng-usulkan, “Itulah orang-orang kafir.” Tapi Imam Ali kw menolak, “Tidak, mereka bukan orang kafir. Mereka mengucapkan syahadat dan melakukan shalat.” “Kalau begitu, merekalah orang-orang munafik,” berkata para pengikutnya. “Tidak,” ucap Imam Ali kw, “orang-orang munafik itu sedikit dzikirnya sedangkan mereka banyak dzikirnya.” Orang-orang bingung, “Kalau begitu, bagaimana kami harus memanggil mereka, Ya Amiral Mukminin.” Imam Ali kw menjawab, “Itulah saudara-saudara kita yang berbeda faham dengan kita.”

Ciri yang ketiga, Mazhab Alawi adalah mazhab cinta. Inilah sejenis keberagamaan yang didasarkan kepada cinta. Kita lihat doa-doa Imam Ali kw, doa-doa itu menggambarkan kecintaannya kepada Allah swt. Jika kita belajar Tasawuf, yang keberagamaannya didasarkan pada cinta atau mahabbah, seluruh aliran tarekat dalam Tasawuf itu bermuara pada Imam Ali kw dan keturunannya. Misalnya Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah.


Doa di dalam Mazhab Alawi dipenuhi dengan kecintaan kepada Allah swt. Hanya dalam Mazhab Alawi, kecintaan kepada Allah swt mencapai puncaknya. Seperti dalam doa Imam Ali kw yang diajarkan secara khusus kepada muridnya, Kumayl bin Ziyad. Kumayl adalah murid Imam Ali kw yang paling setia. Karena kesetiaannyalah maka doa ini hanya diajarkan kepadanya. Saya akan tutup tulisan ini dengan menampilkan beberapa bait dari Doa Kumayl tersebut yang menunjukkan begitu dalamnya kecintaan mazhab ini kepada Allah swt;

Tuhanku, junjunganku, pelindungku, pemeliharaku
Sekiranya aku mampu bersabar menanggung azab-Mu
Bagaimana mungkin aku mampu bersabar berpisah dari-Mu
Sekiranya aku mampu bersabar menahan api neraka-Mu
Bagaimana mungkin aku mampu bersabar tidak memandang wajah-Mu
Bagaimana mungkin aku tinggal di neraka
Padahal harapanku adalah ampunan-Mu
Tuhanku, limpahkanlah kepadaku anugerah-Mu.
Sayangi aku dengan karunia-Mu
Jagalah aku dengan seluruh kasih sayang-Mu
Jadikan lidahku selalu bergetar menyebut asma-Mu
Dan hatiku dipenuhi dengan kecintaan kepada-Mu

Doa Kepada Kedua Orang Tua

,

Doa yang biasa dibawakan Imam Ali Husein -Cucu Rasulullah SAW- yang tertuang dalam buku Syahifah as-Sajjadiyah


Ya Allah….
Rendahkanlah suaraku bagi mereka (ayahku)
Perindahlah ucapanku di depan mereka
Lunakkanlah watakku terhadap mereka dan
Lembutkanlah hatiku untuk mereka

Ya Allah…
Berilah mereka balasan yang sebaik-baiknya
Atas didikan mereka padaku dan pahala yang besar
Atas kesayangan yang mereka limpahkan padaku
Peliharalah mereka… sebagaimana mereka memeliharaku

Ya Allah....
Apa saja gangguan yang telah mereka rasakan
atau kesusahan yang mereka derita karena aku
atau hilangnya sesuatu hak mereka karena perbuatanku
jadikanlah itu semua penyebab rontoknya dosa-dosa mereka
Meningginya kedudukan mereka dan bertambahnya pahala
kebaikan mereka dengan perkenan-Mu

Ya Allah…
Hanya Engkaulah yang berhak membalas kejahatan
dengan kebaikan berlipat ganda. Bila magfirah-Mu telah
mencapai mereka sebelumku
Izinkanlah mereka memberi syafa’at untukku
Tetapi jika magfirah-Mu lebih dahulu mencapai diriku
Maka izinkahlah aku memberi syafa’at untuk mereka

Sehingga kami semua berkumpul bersama dengan santunan-Mu
di tempat kediaman yang dinaungi kemulian-Mu, ampunan-Mu serta
rahmat-Mu
Sesungguhnya Engkaulah yang memiliki Karunia Maha Agung
serta anugerah yang tak berakhir dan Engkaulah
yang Maha Pengasih diantara semua pengasih…

Doa: Cara Manusia Menjalin Hubungan Dengan Realitas Absolut

Doa: Cara Manusia Menjalin Hubungan Dengan Realitas Absolut

(Taufiq Haddad)

In most modern rooms you see an electrical light that can be turned on by a switch. But, if there is no connection with the main power house, then there can be no light. Faith and prayer is the connection with God, and when that is there, there is service. (Mother Teresa)

Saya mendapat pinjaman sebuah buku dari seorang teman yang menurut saya sangat bagus isinya. Sebelum meminjam, saya mengatakan bahwa saya ingin menulis di blog ini sebuah tulisan mengenai doa. Saya ingin lebih dapat mengetahui tentang apa sesungguhnya hakikat doa itu?. Lalu teman baik saya itu meminjamkan buku, Everything Starts From Prayer, sebuah buku yang mengutip kata – kata dari Mother Teresa. Kemudian saya membuka lembaran buku itu satu per satu, ternyata saya menemukan banyak hal (insight) baru yang saya kira orang lain pun layak untuk membaca, dan mendapatkan manfaat. Bolehlah disebut dalam blog kali ini, saya banyak terinspirasi oleh buku tersebut.

Saya tahu bahwa beliau adalah penganut Katolik, tapi itu bukan persoalan penting buat saya. Imam Ali as pernah menyampaikan pesan bahwa tidak penting bagi kita melihat sebuah pesan atau kata dengan melihat siapa yang berbicara, yang lebih penting adalah memperhatikan kata – kata yang keluar dari mulut siapa pun. “Lihat konteksnya, bukan subjeknya”.

Selalu secara ekstrim saya memberi contoh kepada teman – teman saya yang agak phobi jika saya mengutip pendapat mengenai kebenaran yang datang dari orang diluar Islam. Jika misalkan, ada seorang guru besar (professor) dari Harvard University, sebuah universitas ternama di dunia, mengatakan bahwa segi tiga sama kaki memiliki sudut yang berbeda besarnya pada masing – masing sudutnya, saya mengatakan jelas salah. Saya tak peduli apa latarbelakangnya, yang jelas kalimatnya jelas salah dan bertentangan dengan fakta yang ada. Namun sebaliknya jika ada murid SD kelas tiga berpendapat bahwa segitiga sama kaki memiliki sudut yang sama besar di masing – masing sudutnya, saya lebih memilih pendapat ini. Betapapun itu keluar dari seorang anak kecil yang masih bersekolah dasar seperti diatas. Di kesempatan lain, Imam Ali as pun pernah berpesan untuk mengenali kebenaran, bukan mengenalnya atas dasar oknum tertentu. Kebenaran memiliki ukurannya tersendiri.

Secara filosofis saya pernah mendiskusikan hal ini pada tulisan saya tentang filsafat perennial di awal – awal blog ini. Bagi teman atau siapapun yang ingin membacanya bisa melihat pada archive di blog ini.

Sebelumnya saya membaca buku bagus pula tentang doa karya Allamah Ibrahmi Amini, yang diterbitkan oleh penerbit Cahaya. Pada lain kesempatan saya berjanji akan mengekplorasinya di blog dalam kesempatan lain.

Kebetulan saya sempat bertemu dengan orang shalih ini beberapa waktu lalu. Melihatnya dari dekat memberi energi tentang ketenangan menghadapi situasi – situasi luar. Maksud saya, ketenangan yang dimilikinya seolah mampu mengendalikan pengaruh – pengaruh luar. Saya melihat beliau dari jarak yang amat dekat. Saat itu beliau dikerumuni oleh banyak orang yang ingin mendapatkan barakah dengan mencium tangannya. Saya merasakan aura spiritual dari kehadirannya di ruang itu. Saya termasuk salah seorang yang mendapat kesempatan mencium tangan beliau saat itu. Saya tetap merasakan aura itu selama beberapa hari. Beliau adalah salah seorang dari murid Alm. Imam Khomeini qs. dan juga Alm. Allamah Muhamamad Husein Thabatabai, pengarang Tafsir Mizan. Saya selalu berusaha tidak luput mengirimkan al - fatihah setiap hari kepada kedua orang besar ini, yang buku - bukunya telah banyak membimbing saya kepada sebuah cahaya.

Buku itu merupakan pengantar dari sebuah komentar (syarah) atas doa Kumayl, salah seorang dari sahabat Imam Ali as. Doa Kumayl pun salah satu doa terbaik dan indah yang pernah saya baca selain doa Arafah (doa Imam Husain as di hari Arafah, 9 Zulhijjah), doa Abu Hamzah Ats – Tsimali dll.

Dunia marketing membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Dunia pemasaran (marketing) adalah dunia yang berkutat untuk dapat memuasi kebutuhan manusia yang tak terbatas, baik melalui produk maupun servis yang diciptakanya. Kebutuhan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Biasanya ia berkaitan dengan hal – hal fisik. Sementara keinginan adalah sesuatu kebutuhan yang muncul akibat faktor dari luar. Ia tidak selalu harus dipenuhi. Ia dapat di tunda. Tidak demikian dengan kebutuhan. Ia tidak bisa ditunda, ia harus dipenuhi segera. Jika kita merujuk pada teori motivasi Maslow, konsep kebutuhan ini ada pada level dasar (basic need) yang harus dipenuhi sebelum kebutuhan diatasnya di penuhi.

Saya ingin mendiskusikan mengenai doa dengan merujuk pada sumber diatas. Mungkin pada bagian kali ini saya lebih banyak mengutipnya dari buku Mother Teresa.

Berdoa sesungguhya merupakan sebuah kebutuhan yang intrinsik pada kita. Manusia memiliki sesuatu yang harus dipenuhi dalam dirinya, tidak saja yang fisik. Benar bahwa manusia membutuhkan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Namun manusia juga membutuhkan kasih sayang, cinta, kehangatan, kebahagiaan dll. Karena dalam dirinya, secara essensi, manusia terdiri dari satu unsur yang supra fisik. Tuhan meniupkan ruh. Orang barat sering menyebutnya sebagai intellect. Kebutuhan inilah yang sering hilang, dan diabaikan. Kebutuhan spiritual.

Dalam salah satu kutipannya Mother Teresa mengatakan,

“I wonder some time ago I visited a very wonderful home for old people. There were about forty people there and they had evertything, but they were all looking toward the door. There was not a smile on their faces, and I asked the sister in charge of them, “Sister, why are these people not smiling? Why are they looking towards the door?”. And she, very beutifully, had to answer and give the truth: ” It’s the same day. They are longing for someone to come and visit them.”This is great poverty”.

Imam Khomeini dalam Arbauna Haditsan (40 Hadits), bab Jihad Nafs, menyebut bahwa manusia hidup dalam dua dimensi, dimensi lahiriah dan dimensi ruhani. Tiap hari terjadi pertempuran yang seru untuk saling menguasai antara kekuatan yang cenderung kepada kebenaran, dan kekuatan yang cenderung kepada kefasikan, terutama dalam dunia spiritual.
Keinginan manusia tak ada habisnya. Keinginannya selalu berpindah dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Mungkin dahulu ia menginginkan sebuah rumah, setelah dimilikinya, ia menginginkan yang lebih besar lagi dst.

Menurut Imam Khomeini keinginan pada bentuk yang temporer yang ada di dunia ini hanya akan mendorong manusia untuk terus memburu pada sesuatu yang mengarahkannya kepada sesuatu yang sempurna. Tiap kali ia menemukannya pada sesuatu, tak lama ketidakpuasannya pun akan terjadi. Dan hal ini akan terjadi dengan seterusnya hingga ia mendapat kesempurnaan yang abadi. Sesungguhnya kesempurnaan abadi hanyalah pada Allah SWT.

Manusia tidak pernah hampa dari kebutuhan dan keinginan. Bunda Teresa menyampaikan hal ini dengan kalimat yang menurut saya patut kita renungkan, karena mungkin saja kita pun salah satu dari orang yang disebutkannya:

"There is so much suffering in the world – very much. And this material suffering is suffering form hunger, suffering from homelessness, from all kinds of disease, but I still think the greatest suffering is being lonely, feeling unloved, just having no one."

Dalam kalimat lain, ia mengatakan:

"There are different kinds of poverty. In India some people live and die in hunger. But in the West you have another kind of poverty, spiritual poverty. This is far worse. People do not believe in God, do not pray. People do not care for each other. You have the poverty of people who are dissatisfied with what they have. Who do not know how to suffer, who give ini to despair. This poverty of heart is often more difficult to relieve and to defeat".

Jadi obat dari kehampaan dan kejenuhan adalah doa. Doa itu menjadi jembatan kita berhubungan dengan Yang Maha Agung, lagi Maha Perkasa, Allah SWT. Dia lah sumber dari segala kebutuhan dan keinginan.

Doa Menembus Alam Realitas Material

(Taufiq Haddad)
“Saya tidak, pada awalnya, mendapatkan (gagasan – gagasan) lewat proses berfikir (kogitasi), melainkan lewat sesuatu yang lain. Hanya setelah itu saya mencari bukti –bukti tentangnya” .
(Syaikh Isyraq – Syihabuddin Suhrawardi)

Tiap malam Jum’at, saya memiliki kesempatan mengevaluasi apa yang telah saya lakukan selama satu minggu terakhir. Biasanya ini saya lakukan di tengah menyimak pembacaan doa Kumayl yang saya ikuti di Yayasan Fathimah di bilangan Condet Batu Ampar, Jakarta Timur. Paling tidak tiga minggu terakhir ini saya selalu menyempatkan diri hadir disana.

Selain membaca doa, saya juga bertemu dengan teman – teman dari Jalsa Jakarta, yang merupakan forum kajian dua mingguan yang juga rutin saya ikuti. Jalsa adalah sebuah forum yang didirikan sebagai forum berkumpulnya teman – teman yang concern dengan wilayatul faqih. Usai membaca doa biasanya kami membicarakan perkembangan dan arah forum yang baru didirikan setelah Ramadhan 1425 kemarin. Seperti namanya yang berarti “duduk – duduk (santai)”, sesungguhnya forum tersebut ingin memberi nilai lebih dari pertemuan yang biasanya sering dilakukan. Menariknya forum semacam ini telah cukup banyak tersebar di tempat – tempat lain seperti: Bogor, Garut, Bandung, dll.

Selain doa Kumayl yang rutin dibaca, juga diikuti dengan doa lainnya yang dibaca secara berselingan tiap minggu seperti: doa menanti Imam Zaman as, Hadits al – Kisa’, Jausyan Kabir, doa Nabi Idris as (doa sholat malam), doa taubat, dll. Di saat seperti itu, saya mendapatkan banyak hal terutama saat membaca rangkain untaian kata – kata indah dari doa yang hingga saat ini menurut saya belum mendapatkan padanan yang sepadan dengan doa tersebut – khasanah dari Ahlil Bayt (salam untuk mereka semuanya). Saya bersyukur diberi kesempatan dapat menghadiri majlis – majlis yang selalu mengingatkan kelemahan saya dihadapan – Nya, pengharapan yang amat besar akan rahmat – Nya dll. Berikut ini saya kutipkan satu rangkain kutipan sangat indah doa Kumayl tersebut:


Kini aku datang menghadap kepada – Mu, ya Ilahi
Setelah semua kecerobohan dan pelanggaranku atas diriku
Memohon maaf, mengungkapkan penyesalan dengan hati luluh
Merasa jera, mengharapkan ampunan menginsyafi kesalahan
Mengakui kelalaian, menyadari kecerobohan, menginsyafi kesalahan
Tiada kutemui tempat melarikan diri, dari (dosa – dosa) yang telah kulakukan
Dan tiada tempat berlindung agar ku terlepas dari segala noda dan beban
Melainkan Kau kabulkan permohonan ampunanku
Dan Memasukan daku ke dalam lautan kasih – Mu
Ya Allah, terimalah alasan (pengakuan) ku ini
Dan kasihanilah beratnya kepedihanku
Dan bebaskanlah daku dari kekuatan belengguku


Saya selalu berusaha menikmati dan mensyukuri suasana spiritual dan keakraban yang saya rasakan. Pembacaan doa ini menjadi penghubung (connection) yang amat sakral dalam menyampaikan pengharapan dan kasih sayang kepada Yang Maha Agung. Kalau sebelumnya saya memahami bahwa doa merupakan sebuah kebutuhan inheren pada manusia yang menghubungkan manusia dengan realitas absolut (lihat: Doa Cara Manusia Menjalin Hubungan dengan Realitas Absolut). Kini pelan – pelan keingintahuan saya mengenai hakikat doa sedikit bertambah dengan pemahaman baru. Walaupun saya akui masih banyak hal yang misterius didalamnya.

Kutipan Suhrawardi diatas menjadi stimulus buat saya dalam memahami pesan – pesan ilahiyyah yang datang secara intuitif – doa adalah salah satu perintah – Nya. Kita yang lemah ini berusaha menyerap dan memahami seluruh – Nya secara deduktif, bahwa seluruh perintah – Nya adalah kasih sayang semata dan yang ada hanyalah kebaikan (premis mayor). Seperti Suhrawardi sampaikan diatas, banyak pengetahuan yang didapatinya pada mulanya tidak diperoleh melalui pemikiran, baru kemudian bimbingan tersebut dapat diverifikasikan penjelasannya. Kadang pengetahuan ataupun ilham yang didapat sangat personal sifatnya.

Suasana yang saya maksudkan disini tidaklah selalu bahwa hanya di tempat seperti Yayasan tersebut saja yang menjadi tempat khusus, namun sebaliknya doalah yang telah membuat ruang itu menjadi demikian bercahaya. Jika kita mengacu dengan filsafat iluminasinya Suhrawardi dimana wujud diidentikan dengan cahaya, dimana Tuhan – lah cahaya sejati dan sempurna, sementara selanjutnya terdapat wujud lain yang bertingkat dibawahnya. Sehingga dalam perspektif ini semakin kita mendekati cahaya, maka intensitas cahaya wujud tersebut akan lebih banyak kita dapatkan.

Memahami filsafat Iluminasi Suhrawardi bisa dianalogikan atau di dekati misalnya dengan kumpulan orang disebuah tempat yang ada lampu besar diatasnya. Orang yang berada didekat lampu tentu saja akan menerima cahaya yang lebih banyak daripada yang jaraknya lebih jauh. Semakin orang tersebut jauh dari lampu, maka semakin kecil intensitas cahaya yang ia serap, bahkan menuju ke arah gelap. Analogi ini menjadi terasa “pas” buat kita. Dalam hidup yang kita lewati kian hari malah semakin jauh dari sumber cahaya – Tuhan. Cahaya yang kita miliki sangat redup karena jauhnya kita dari cahaya sejati (Allah), untuk tidak mengatakan “kegelapan” akibat dosa dan kesalahan yang sering kita perbuat.

Dengan menghadiri majlis doa tersebut saya berusaha mendekati cahaya. Harapan saya tentu saja ingin mendapatkan cahaya yang lebih banyak lagi. Cahaya bagi saya adalah sebuah kebutuhan Apakah sama antara orang yang memiliki cahaya atau penerang dengan yang tidak, ditengah kegelapan dunia yang mencampuradukan antara yang baik dan buruk seperti sekarang ini? Melalui doa tersebut setidaknya kita membuka tirai –tirai kegelapan yang menyelimuti hati. Disinilah makna baru tentang doa yang saya dapatkan.

Dimana pun tempat yang dibacakan doa ini, saya yakin akan menjadi bersinar dan mendatangkan ketenangan dan kedamaian diri (inner space). Menurut kalangan penulis how to situasi tersebut didapat melalui diam, keheningan, dan kesendirian (stillness, silence, and solitude). Situasi spiritual yang sesungguhnya tengah dicari masyarakat modern yang telah kehilangan arah dengan materialisme yang mengabaikan realitas atau pengetahuan diluar pengetahuan inderawi (empirisme) seperti yang didengungkan oleh John Locke (ingat dengan toeri tabularasa – nya), David Hume (dengan human nature – nya) dan para pendukung aliran filsafat realisme lainnya tiga abad silam. Sadar tidak sadar filsafat mereka telah merasuki pemikiran kita, tanpa kita sadari.

Menengok kebelakang 14 abad silam, usai syahidnya Imam Husein as, cucu kesayangan Rasulullah Saaw, yang mengorbankan dirinya demi menyelamatkan agama kakeknya. Salah seorang dari putra beliau yang bernama Imam Ali Zaenal Abidin as yang digelar as – Sajjad mengisi hari – harinya dengan banyak beribadah dan berdoa. Kumpulan do’anya yang demikian indah yang dinamakan as – Shahifah as – Sajjadiyyah kemudian dibukukan dan menjadi salah satu warisan paling penting dari khasanah keilmuan keluarga Nabi.

Berbeda dengan ayahnya, maupun saudaranya, Zaid bin Husein yang melakukan perlawanan - dalam riwayat jenazah beliau kemudian dibakar oleh para musuh Allah. Sementara Imam Ali Zaenal Abidin as, praktis tidak melakukan konfrontasi dengan rezim yang berkuasa. Dalam riwayat kita hanya banyak mendengar mengenai praktik ibadah dan sikap – sikap kedermawanannya kepada para pengikutnya dimasa hidupnya.

Sikap demikian dapat dipahami, mengingat beliau mengetahui betul mentalitas masyarakat pada saat itu yang telah jauh terperosok pada tingkat yang sangat rendah. Memperbaikinya adalah dengan cara memberi mereka sentuhan – sentuhan spiritual yang bisa meningkatkan kesadaran akalnya. Dengan cara inilah orang suci ini mendidik seluruh pengikutnya. Pada masa hidupnya beliau menyaksikan banyak keluarga terdekatnya yang dibantai secara keji oleh para penipu agama yang mengaku mengikuti agama kakeknya. Orang – orang yang berbentuk manusia tetapi sesungguhnya sejatinya mereka adalah hewan – hewan liar berbentuk manusia. Mengadakan perlawanan terhadap tiran yang berkuasa, beliau membutuhkan pengikut yang loyal seperti pengikut ayahnya yang gugur di medan perang Karbala. Namun beliau tidak mendapati pengikut yang demikian setia seperti para syuhada Karbala.

Dalam management strategic tantangan eksternal yang berubah memerlukan strategi yang benar – benar tepat, tidak harus selalu konfrontatif, melainkan disesuaikan dengan apa yang sedang dihadapi (contingetl approach). Kadang buat saya agak absurd kalau kita mengadopsi begitu saja strategi dakwah yang dilakukan oleh Nabi tanpa melihat kontekstualitas dan situasi yang sedang berkembang. Praktik ini dibuktikan oleh strategi dan pendekatan yang berbeda yang dilakukan oleh seluruh Imam dari keluarga Nabi pada masa hidupnya. Strategi Imam Ali as berbeda dengan Imam Hasan as, berbeda pula dengan strategi yang dipilih Imam Huseian as dan para Imam berikutnya. Tujuan (goal) dan cara (startegic) merupakan dua hal yang berbeda. Agak aneh saja jika ada orang mengklaim mengikuti metode dakwah Nabi, namun sebenarnya adalah mereka mengikuti pemahaman mereka terhadap metode dakwah Nabi – ini dua hal yang harus pula dibedakan.

Kelebihan dan keistimewaan doa – doa yang dibawa oleh keluarga Nabi Saaw tidak saja berisi untaian kata – kata indah, namun juga mengandung makna yang sangat dalam mengenai eksistensi tertinggi. Untaian – untaian doa – doa Ahlil Bayt Nabi juga adalah pelajaran tauhid yang menyimpan beragam makna. Kita akan mendapati banyak makna – makna baru bila kita bersungguh – sungguh untuk mendapatkan pengetahuan darinya. Perhatikan salah satu bait indah doa Kumayl dibawah ini:


(anggaplah) aku dapat bersabar menanggung siksa – Mu
Mana mungkin aku mampu bersabar berpisah dari – Mu


Doa dalam pemahaman saya tidak saja dapat mempengaruhi alam realitas (syahadah) yang merupakan alam tingkat rendah, namun doa juga mampu merubah ketentuan – ketentuan yang memang telah menjadi takdir kita. Saya telah menyinggung soal ini pada blog saya terdahulu (lihat blog: Dunia Bukan Panggung Sandiwara).

Hemat saya, doa lebih jauh menjadi salah satu sarana untuk menembus ruang antara alam syahadah (alam material) dan alam malakut (alam metafisika) yang lebih tinggi, yang sesungguhnya sebuah kesatuan (unitas). Itulah sebabnya Imam Khomeini menyebut sholat (yang merupakan bagian dari doa) sebagai mi’raj ruhani dalam perjalanan menuju Allah (sayr wa suluk). Para mukasyaffah (orang – orang yang telah tersingkap hijab realitas) sesungguhnya telah menembus batas ini. Sementara buat kita hal – hal seperti itu seperti sebuah mimpi saja dan angan – angan karena kita masih terbentengi oleh dinding – dinding dosa, kesalahan, dan sifat – sifat buruk yang sangat tebal.

Dalam posisi seperti ini yang dapat saya lakukan adalah terus – menerus berdoa untuk membuka diri agar menerima anugerah ilahi sehingga dapat menembus alam metafisika – dapat merasakan lebur didalam – Nya. Walaupun saya tidak yakin dengan usaha yang saya lakukan untuk meraih hal tersebut – saya terlalu hina untuk mendapatkan hal tersebut.

Dalam perspekti sufi, kasih sayang – Nya bukanlah didapat dari ibadah yang keras, melainkan hakikatnya adalah pemberian dari – Nya. Saya hanya mengharapkan rahmat dan inayah, serta kasih – sayangn – Nya.

Marilah bergabung bersama kafilah Rasulullah Saw melantunkan doa – doa yang biasa mereka baca agar Sang Kekasih membuka tirai – tirai yang membentengi dan menghalangi kita dari – Nya.

Tuhanku hatiku telah tertutupi
Hawa nafsu telah menguasaiku
Akalku telah terkalahkan
Ketaatanku sangat sedikit
Sementara kemaksiatanku demikian banyak
Lisanku penuh dengan kesalahan dan kekotoran – (tercela)
Lalu, bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkannya, wahai Yang Maha Perkasa dan Yang Maha Mengetahui Sesuatu Yang Tak Nampak
Maafkanlah ketercelaan kami seluruhnya
Dengan hak dan kehormatan kesayanganmu, Rasulullah dan Ahlil Bayt – nya.
Terimalah permohonan kami ini

Membaca Isyarat Alam sebagai Hidayah dari-Nya

Membaca Isyarat Alam sebagai Hidayah dari-Nya

(Taufiq Haddad)

“Tidak ada satupun ciptaan-Nya yang sia-sia. Semuanya memiliki tanda. Semuanya adalah kasih sayang-Nya”.

Percaya atau tidak percaya, saya meyakini bahwa alam kadang memberi kita isyarat-isyarat petunjuk yang kita perlukan dalam mengarungi hidup. Alam tidak pernah berhenti untuk selalu berdialog dengan kita. Dia tidak sekedar memberi reaksi, tapi juga membuat sebuah aksi yang mengisyaratkan sesuatu. Alam dapat dan selalu memberi tanda akan apa-apa yang akan terjadi.

Setelah beberapa peristiwa yang saya alami, di saat hubungan kita kepada-Nya sedemikian intensif, saya bahkan meyakini bahwa alam menjadi begitu ramah. Semua yang kita inginkan menjadi sangat mudah kita raih. Alam memberikan percikan-percikan tanda kepada kita. Kita merasakannya. Kita berbahagia dengan itu semua. Kita merasakan bahwa isyarat-isyarat tersebut merupakan anugerah dari-Nya yang kita sadari karena kondisi hati yang dipenuhi oleh cahaya-Nya. Petunjuk dari alam itu menjadi jelas buat kita. Kita menjadi dekat dengan alam dan menjadi salah satu sahabatnya.

Alam sebagai bagian dari mahluk-Nya, bukanlah sesuatu yang diciptakan hanya hanya untuk dieskploitasi demi kepentingan manusia tamak. Mereka hidup dengan caranya sendiri. Menjaga ekosistem, keharmonisan alam. Dalam al-Qur’an disebut bahwa semuanya bertasbih dengan caranya masing-masing. Alam– kita–dan Ilahi, adalah sebuah kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Dalam konsep Ibn Arabi, ini dikenal dengan konsep wahdatul wujud-satu tapi tidak menyerupai. Mulla Sadra menjelaskan kemajemukan (pluralitas) yang ada dari eksistensi yang satu dengan istilah gradasi wujud-kesatuan wujud dan keragaman esensi (wahdatul wujud wa kasratul maujud).

Ingat dengan ayat pertama dari al-Ikhlas. “Katakanlah (wahai Nabi) bahwa Allah itu Esa”. Esa tidak bertara. Eksistensi yang satu yang tidak bertara. Disaat kita melihat sesuatu yang sifatnya berjumlah (kuantitatif), maka kita akan memiliki konsep sesuatu tersebut di kepala kita. Misalkan, gelas. Saat kita melihat sebuah gelas, maka di kepala kita telah terekam benda gelas itu.

Di alam pikiran kita gelas itu tidak saja satu, bahkan kita dapat membayangkan, dan memduplikasikannya lebih dari satu. Sehingga walaupun gelas tersebut satu, tapi karena dia memiliki batasan (bertara), maka kita dapat membayangkannya dalam pikiran kita.

Ini yang berbeda dengan Tuhan. Ia tidak satu yang berjumlah. Ia juga tidak memiliki batasan, sehingga akal tidak dapat membayangkan satu yang lain (duplikasi) dalam alam pikiran. Akal tak akan dapat menyerap dan memahami keluasan eksistensi-Nya. Satu-nya tak bertara. Satunya adalah sebuah kesejatian eksistensial.

Sekali kita mencoba menciderai yang satu, maka pasti hal tersebut akan berimbas pada yang lainnya-sebagaimana sistem mekanis yang bekerja. Namun tingkat keterkaitan didalamnya tidaklah semekanis yang dibayangkan karena hal ini berkaitan dengan alam spiritual-alam tingkat tinggi.

Sebaliknya, jika kita tidak lagi memiliki ikatan yang kuat kepada–Nya, maka alam seolah menjauh dengan kita. Bahkan, ia tidak lagi menjadi ramah kepada kita. Hal ini diisyaratkan dalam doa Kumayl bin Ziyad, yang merupakan do’a yang Imam Ali as. ajarkan, menyebutkan bahwa bencana dapat muncul akibat dosa – dosa yang kita lakukan. ….” Ya Allah ampunilah dosa-dosaku yang mendatangkan bencana”.. (cuplikan dari do’a Kumayl, yang umumnya dibaca para pencinta Ahlil Bayt setiap malam Jum’at).

Di saat kita dalam kondisi spiritual yang sangat baik, tanda atau isyarat itu menjadi sangat nyata. Tanda-tanda alam itu langsung mengimpuls alam bawah sadar kita, bahwa pasti akan ada sesuatu yang akan terjadi. Sudah sering kita dengar banyak orang yang tiba-tiba saja menjadi resah karena di tempat lain ada famili atau keluarganya yang mengalami suatu peristiwa. Terkadang isyarat itu datang melalui mimpi, tapi terkadang melalui kerja hati dll.

Tuhan sangat kreatif menyampaikan rahmat dan kasih sayang-Nya. Kadang itu diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk cobaan, ketakutan dll. Dengan penderitaan tersebut Ia mengundang hamba-Nya untuk berdialog dan memohon sesuatu kepada-Nya. Tuhan akan mendengarkan seluruh tangisan dan penderitaan yang hamba kesayanganya alami. Ia tidak pernah diam. Ia mengontrol seluruh pergerakan alam raya. Ia akan menghibur hamba-hamba-Nya. Sementara bagi hamba-Nya adalah sebuah anugerah dapat merasakan kebutuhan yang mendalam dan memohon kepada sesuatu yang tepat, yaitu penyebab utama dari rangkaian sebab sesuatu, Allah SWT.

Di saat seperti ini, sungguh saya membutuhkan isyarat itu? Dimanakah saya dapat menemukannya? Sebenarnya isyaratnya telah sangat jelas. Bahkan ia sesungguhnya memang sesuatu yang jelas. Persoalan kejelasannya bukan pada objek isyarat tersebut, tapi pada subjek sang pengamat seperti saya ini. Sudahkah saya menjadi hamba-Nya yang taat, sehingga saya memiliki cahaya yang cukup untuk mengenalinya.

Ya Ilahi, ampunilah dosa dan kesalahan kami. Bantulah kami menjadi hamba-hamba-Mu yang paling taat pada-Mu, agar kami dapat menangkap isyarat- isyarat kasih sayang-Mu.

Dunia Bukan Panggung Sandiwara

Tidak ada sesuatu yang lebih mengganggu dan menyakitkan jiwa seseorang daripada perasaan bahwa ia hidup di bawah bayang – bayang sebuah kekuasaan absolut yang amat kuat dan mencekram segala sesuatu dalam kehidupannya, serta mengarahkannya kemana saja sesuai kehendaknya.

(Muthahhari)

Sudah empat minggu terakhir ini tiap malam Jum’at saya rutin hadir mengikuti Islamic Discussion Forum di ICC (Islamic Cultural Center), di bilangan Warung Buncit, Jakarta. Diskusi ini sesungguhnya ditujukan kepada para ekspatriat atau staf kedutaan asing, dan para profesional yang ingin menambah wawasan mengenai keislaman. Karenanya diskusi itu disampaikan dengan pengantar bahasa Inggris. Temanya pun disesuaikan dengan konsumsi yang relevan dengan mereka. Pembicara yang sempat mengisi diantaranya Haidar Bagir, pimpinan Mizan Group yang mempresentasikan manajemen etis dalam "Corporate Mystics”. Ada juga Dr. Mulyadi Kartenegara, dosen pasca di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Dr. Jalaludin Rahmat, dll. Diskusi ini rencananya diadakan dalam 12 kali pertemuan hingga 5 Mei 2005 mendatang. Saya merasa beruntung dapat menghadiri diskusi yang sangat bermutu ini.

Ada yang menarik dalam salah kesempatan diskusi di pertemuan di ICC tersebut. Hal ini pula yang menjadi latarbelakang saya menulis tema blog kali ini. Dalam salah satu sessi tanya jawab pada tema Dimensions Psychology of Islam oleh Dr. Mulyadi, muncul pertanyaan mengenai takdir oleh salah satu peserta. Dia mempertanyakan mengenai persoalan mengenai kebebasan (free will) dan keterpaksaan (determinisme). Sang penanya, Ayub H Choudry, rekan dari India, mencontohkan sebuah kasus mengenai seorang siswa yang cerdas yang ingin mengikuti ujian akhir. Sebelum siswa cerdas tersebut mengikuti ujian ditengah jalan, ia tertabrak kendaraaan. Akibatnya ia tidak dapat mengikuti ujian dan dinyatakan tidak lulus ujian. Sebab salah satu kriteria lulus adalah mengikuti ujian akhir. Padahal diatas kertas, jika ia dapat mengikuti ujian tersebut dipastikan ia akan lulus.

Lalu Ayub mempertanyakan, apakah peristiwa tabrakan ini adalah sebuah takdir yang tidak bisa dihindari, dan telah menjadi garis tangan hidupnya. Beberapa pertanyaan senada pun muncul dari peserta lain. Sayangnya saat itu Pak Mulyadhi yang menjadi speaker tidak menjawabnya secara eksplisit. Ia hanya mengatakan bahwa hal tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan kebebasan dalam memilih keputusan hidup.

Soal – soal seperti ini pun banyak kita temukan dalam keseharian kita. Bagi beberapa orang persoalan ini bukanlah hal sederhana untuk memahaminya. Bahkan, Muthahhari menyebut persoalan ini sebagai salah satu persoalan filosofis yang cukup pelik. Seorang teman saya juga sempat mempertanyakan hal yang sama. “... benarkah kita dapat mencapai apa yang kita inginkan?”. Teman saya yang lain saat ditanya, “bagaimana keputusannya (dalam salah satu soal)?”. Ia menjawab, “... Belum tahu… nih… bagaimana nanti saja…”, jawabnya. Seorang selebritis yang sedang kasmaran pernah ditanya, bagaimana kelanjutan hubungan dengan pasangannya. Dia menjawab, “… Yah…bagaimana yang diatas saja deh. Kita sich jalaninnya aja. Kalau jodoh juga gak kemana”. Masih banyak lagi pernyataan dengan redaksi yang hampir sama yang menyiratkan besarnya kungkungan pengaruh mengenai nasib yang datang diluar diri manusia, dan ketidakyakinan akan peran manusia dalam menentukan nasib di masa depan.

Dalam teologi Islam soal – soal diatas dikenal dengan istilah qadha dan qadar. Setidaknya ada dua blok aliran pemikiran yang selama bertahun – tahun saling berpolemik dalam dunia Islam. Satu dikenal dengan nama kelompok Jabbariah (pro determinisme) dan satunya adalah Qadariyah (pro free will). Secara singkat, yang pertama meyakini bahwa hidup ini telah Tuhan atur seluruhnya. Paham ini didukung oleh kaum yang menganut paham akidah As’ariyah, sementara yang lain menganggap bahwa Tuhan telah menciptakan aturan dan memberi akal kepada manusia, didukung oleh kalangan Mu’tazilah. Sehingga dalam pandangan kalangan Mu’tazilah, manusia – lah yang menentukan nasibnya sendiri di masa depan. Telah banyak buku ditulis untuk saling memperkuat pandangan di atas dari kedua belah pihak.

Mengingat ruang blog ini sangat terbatas, saya mencoba menyingkat pandangan saya mengenai hal ini. Buat saya, benar Tuhan telah menetapkan segala macam hal aturan dan nasib manusia seluruhnya mulai dari dalam rahim ibu hingga ke liang lahat. Namun disamping itu Tuhan memberikan pula anugerah kepada manusia untuk dapat berkehendak menentukan nasibnya. Dua hal ini sama sekali tidak saling bertentangan.

Benar pula Tuhan telah menetapkan usia, rezeki, dan jodoh serta lainnya, tetapi ini saya yakini tidak tunggal sifatnya. Jika tunggal dan tak ada pilihan, maka sia – sia saja anugerah kebebasan memilih kehendak tersebut. Rasanya sulit diterima akal sehat jika Tuhan berbuat sia – sia terhadap ciptaan – Nya, karena Ia adalah kesempurnaan mutlak. Tak ada yang keluar dari – Nya selain kesempurnaan dan kebaikan. Inilah konsep tauhid yang saya yakini.

Ketetapan Tuhan (qadha) sangat tergantung dengan ukuran – ukurannya (qadar). Dengan kata lain, seluruh ketentuan itu bersanding dengan syarat – syarat tertentu. Seandainya kita telah memenuhi syarat – syarat tersebut, tentu ketentuan itu akan jatuh ke tangan kita. Dengan contoh yang sederhana, misalnya jika kita ingin berhasil dalam sebuah urusan bisnis pertanian (agro). Keberhasilan urusan ini sangat bergantung terhadap sebab – sebabnya misalkan, musim, insektisida dll. Kemungkinan ada beragam sebab keberhasilan. Jika kita dapat memenuhi sebab – sebabnya, maka dipastikan kita akan berhasil dalam bisnis pertanian tersebut. Yang menjadi persoalan adalah sejauhmana kita dapat mengetahui dan mengendalikan sebab – sebab tersebut. Semakin kita mengetahui dan mengendalikan sebab – sebab tersebut, maka semakin besar kesempatan kita dapat mengetahui keberhasilan sesuatu yang kita jalankan.

Sayangnya tidak semua soal kita ketahui dengan mudah sebab – sebab keberhasilannya. Dalam soal – soal yang pelik, umumnya manusia tidak dapat mengetahui seluruh sebab – sebab tersebut. Namun dengan akalnya manusia dapat mempelajari bermacam pengalaman yang telah ditempuh untuk mengetahui sebab – sebab tersebut. Model pendekatan berfikir ala Edward de Bono baik yang lateral atau pun bertingkat sesungguhnya berdasarkan premis ini. Dimana kita mengerjakan sesuatu berdasarkan pengalaman keberhasilan yang pernah kita lewati yang kadang berulang di kemudian hari.

Manusia memiliki keterbatasan mengetahui seluruh sebab keberhasilan dalam persoalan tertentu. Manusia lebih tertarik pada sebab yang lebih eksperimentatif dan empirik. Padahal Islam meyakini sebab keberhasilan tidak saja material sifatnya, namun juga non – material (spritual). Doa misalnya, merupakan salah satu sebab non – material yang mampu menjadi sebab keberhasilan sesuatu. Betapa banyak kita saksikan dengan doa – doa orang terlepas dari segala penyakit kronis dll.

Dengan pemahaman seperti ini kita menjadi dapat memahami fenomena yang berkaitan dengan takdir dihadapan kita. Tentang jodoh misalnya, saya meyakini seseorang dapat menikah dengan siapa saja. Tuhan dalam keyakinan saya telah menetapkan sekian kesempatan kepada kita untuk menikah dengan siapa saja. Tuhan pun tidak pernah memaksa dengan kekuatannya kepada kita untuk menikah dengan orang tertentu – tungggal sifatnya. Kita punya pilihan dan kekuatan untuk memilih menikah dengan siapa saja yang kita inginkan. Sehingga kalimat, “ini mungkin sudah jodoh”, dapat diartikan kita memilih dengan kekuatan dan kehendak kita atas sekian kemungkinan menikah dengan seseorang.

Pada titik ini kita pun dapat memahami bahwa seluruh kemungkinan jalan hidup kita telah terbentang luas. Ada sekian kemungkinan jalan untuk kita dihadapan. Ketika kita memilih sebuah jalan atau kesempatan dari sekian kemungkinan yang tak terbatas tersebut, sesungguhnya kita sedang menuju pada nasib yang telah kita kehendaki dan inginkan. Pada saat saya menulis ini misalnya, saya tahu bahwa setelah ini ada kemungkinan beragam jalan yang selanjutnya akan saya pilih. Saya bersyukur, alhamdulillah bisa dapat share mengenai pandangan – pandangan saya disini. Saya beruntung dengan pilihan menulis di blog ini saya menjadi mendapat kekuatan untuk melangkah ke situasi yang lebih bermanfaat. Mungkin saya akan cenderung untuk membaca atau bersungguh meng – create nasib saya ke depan setelah menulis ini atau kegiatan positif lainnya.

Tentu berbeda halnya dengan orang lain yang pada saat yang sama misalnya melakukan sesuatu yang melanggar. Pada situasi itu sungguh akan sulit bagi dia mendapatkan kesempatan dan perasaan yang sama dengan saya. Pelanggaran yang dibuatnya menjadi sebuah modal negatif untuk dapat berbuat kebaikan. Sebaliknya ia akan cenderung pada perbuatan yang jauh lebih berbahaya. Inilah yang saya pahami dari makna salah satu bait dalam doa Kumayl,” Ya ilahi, ampunilah dosaku yang meruntuhkan penjagaan”. Orang yang berbuat kejahatan sekecil apa pun sesungguhnya telah membuka pintu kepada kejahatan besar lainnya. Begitupun sebaliknya.

Sebagai penutup, kutipan diatas sengaja saya kutip dari buku Manusia dan Agama, dalam bab Pengaruh Takdir Atas Manusia, karya Muthahhari. Bagi saya Muthahhari is one of my hero. Dengan buku – bukunya ia telah membimbing dan mencerahkan pandangan saya mengenai pandangan dunia (world view). Buku itu sendiri merupakan kumpulan dari ceramah – ceramah beliau yang kemudian di sunting kembali menjadi sebuah buku. Saya memiliki beberapa koleksi bukunya. Akibat harga buku yang melonjak, koleksi Muthahhari lain yang belum saya miliki biasanya saya pinjam di beberapa perpustakaan dimana saya menjadi member. Dalam buku tersebut, Muthhari menggugat habis dan menunjukan kelemahan pandangan mengenai determenisme (keterpaksaan) dan free will (kehendak bebas) dalam kaitannya dengan kemampuan manusia menjalani kehidupannya. Muthahari mampu memberikan pandangan moderat mengenai pandangan dua ekstrim diatas.

Ala kulli hal, sayup – sayup terdengar lagunya God Bless yang dinyanyikan oleh Ahmad Albar yang isinya bermuatan pemikiran determinisme (keterpaksaan). Lagu yang menurut saya amat absurd dan bertentangan dengan paham tauhid yang saya yakini terutama tentang Keadilan Tuhan (al – ‘Adl Ilahi). Dalam salah satu syairnya berbunyi:

“Setiap kita punya satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar dan ada peran berpura – pura
Mengapa kita bersandiwara”
(God Bless)

bandingkan,

…Perjalanan hidup memang sudah ditentukan Tuhan
Namun kita tetap punya pilihan
Tak ada kontradiksi diantara kedua proposisi tersebut
Karena ketentuan itu sesungguhnya adalah sebuah ukuran – ukuran (taqdir) yang beragam
Kita tetap memiliki pilihan bebas untuk ketentuan yang kita inginkan
Inilah anugerah Tuhan yang membedakan manusia dengan ciptaan – Nya yang lain
Saat kita memilih sama, sekali tak ada satu pun kekuatan yang memaksa yang menjadi beban
Seandainya ada pun (paksaan) niscaya Ia (Tuhan) akan memakluminya.
(Taufiq Haddad)

Menuju Eksistensi Tertinggi

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik – baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah – rendahnya

(Q.S. At – Tiin: 4-5)

Menjadi diri sendiri, mungkinkah? Ini pertanyaan sederhana dari seorang teman di salah satu blognya. Menurut saya ada dua hal yang tersirat dari pertanyaan diatas, pertama, bagaimana kita memahami “menjadi diri sendiri”? Saya yakin tidak mudah menjawabnya. Jika kita telah dapat membatasi persoalan ini dengan bingkai paradigma tertentu, maka persoalan kedua yang menyangkut posibilitas akan terjawab. Dengan kata lain mengharapkan jawaban yang universal dari pertanyaan ini relatif sangat sulit terwujud.

Jika yang dimaksud menjadi diri sendiri adalah sebuah proses mengaktualisasikan seluruh potensi yang kita miliki, soal ini menjadi relatif. Artinya, yang diperlukan adalah kita melewati fase – fase hidup yang beragam yang memungkinkan kita mengaktualisasikan apa yang kita miliki. Namun, apakah fase – fase hidup tersebut menjadi jaminan bahwa seluruh potensi kita akan termanifestasi atau mengejawantah dalam kehidupan yang akan kita lewati? Menurut saya tidak juga.

Ada banyak orang yang melewati hari – harinya, namun mereka tetap tidak sadar apakah telah menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya. Pertanyaan selanjutnya yang mendasar adalah, apakah kita sesungguhnya dapat mengetahui seluruh potensi yang kita miliki? Ataukah potensi manusia secara umum adalah terbatas? Lagi – lagi pertanyaan dapat berkembang menjadi lebih kompleks dari soal semula.

Saya ingin melihat soal diatas dari sudut keberadaan (ontologis). Sesungguhnya kita semua adalah mahluk yang diciptakan. Keberadaan kita sangat tergantung dengan sebab yang menghadirkan kita. Secara sederhana mudah dipahami bahwa melalui kedua orang tua, kita lahir dan menikmati udara kehidupan ini. Begitupun kedua orangtua kita, berasal dari rangkaian kakek dan nenek, dan begitu seterusnya hingga manusia pertama, Adam dan Hawa. Disini kita menggunakan hukum sebab akibat (kausalitas) yang merupakan salah satu pengetahuan yang inheren (by presence) yang menetap dalam diri kita selain hukum kontradiksi ataupun identitas. Ketiga inilah yang menjadi pilar rasionalitas manusia. Seluruh pengetahuan yang ada, tidak bisa dilepaskan dari ketiga hukum ini.

Selain manusia, ada banyak mahluk lainnya yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan kita. Ada pengurai, tumbuhan, hewan dan manusia pada tingkat tertinggi mahluk. Dari beragam mahluk hidup yang ada kita mampu mengelompokannya dalam kategorisasi maupun hierarkinya) – dalam biologi dikenal dengan species dan genus. E. F. Schumacher dalam bukunya A Guide for Perplexed (telah dialihbahasan oleh penerbit LP3ES menjadi Keluar dari Kemelut) menyebutnya sebagai hierarki kehidupan (hierarchy of existence). Ia mengurutkan hierarki kehidupan kedalam tingkatan rendah – tinggi mulai dari pengurai, tumbuhan, hewan, hingga manusia. Dalam beberapa tempat saya beberapa kali mengutip pernyataannya, karena menurut saya dia adalah salah seorang ekonom yang sangat concern dengan spiritualitas. Bukunya cukup memberikan panduan bagi siapa saja yang ingin melihat peta kehidupan. Buku Schumacher lainnya yang juga menjadi banyak rujukan adalah "Small is beutiful".

Jika keberadaan mahluk – mahluk tersebut kita namakan sebuah eksistensi, maka yang yang membedakan satu dengan lainnya adalah essensinya (keapaanya – kuiditas). Contohnya, pengurai hanya sebuah mahluk hidup. Ia tidak berkembang dan tumbuh sebagaimana tumbuhan yang merupakan satu tingkat eksistensi diatasnya. Begitupun tumbuhan tidak memiliki daya untuk seperti yang dimiliki hewan yang berada pada eksistensi yang lebih tinggi, dan seterusnya hingga ke atas.

Seluruh keberadaan yang kita pahami adalah sebuah eksistensi seperti pada pengantar untuk blog saya yang terpampang diatas ini. Eksistensilah yang mengikat seluruh keberadaan yang ada. Eksistensi pula yang real (sejati) dan mengikat seluruh fenomena material ataupun immaterial.

Jika ini kita pahami, maka akal kita menyatakan bahwa ada tingkatan eksistensi di muka bumi ini – kita bisa melihat dan merasakannya. Mulla Sadra dalam filsafatnya menyebut tingkatan ini dengan tasykik al – wujud (gradasi eksistensi). Seluruh esksistensi yang tercipta jika kita perhatikan masing – masing menjadi mahluk – mahluk yang menjaga keseimbangan alam raya. Dari fenomena inilah kemudian muncul konsep "harmoni” atau pun dalil keteraturan yang mengacu pada peran Sang Pencipta Agung, dibalik seluruh fenomena lahir ini.

Eksistensi dan essensi keduanya menjadi pengenal identitas dan sekaligus pembeda. Kesamaan antara manusia dan hewan adalah pada keberadaannya (eksistensi), dan yang menjadi pembedanya adalah essensinya. Sehingga kalau ditarik keatas, ada beragam tingkatan eksistensi, dimana manusia merupakan mahluk yang tertinggi eksistensinya.

Disini kita memasuki satu issu “essensi”? Apa essensi manusia sesungguhnya yang membedakan dia dengan mahluk yang berada dibawahnya - hewan. Manusia memiliki intelect atau akal sedangkan hewan tidak. Hewan hanya mengandalkan instingnya dalam mengarungi hidup. Akal inilah yang menjadi pembeda manusia dengan mahluk hewan – sebagai eksistensi yang satu tingkat berada dibawahnya. Dengan akal ini pula manusia dibedakan tingkatan eksistensinya dengan manusia lainnya.

Sehingga sesungguhnya kita bisa mengasumsikan ada jutaan atau bahkan milyaran – sebanyak jumlah manusia yang lahir - tingkatan eksistensi diantara mereka. Sebagaimana ada milyaran pula cara manusia menempuh perjalanan menuju Tuhan – Nya, seperti yang tersirat dalam sebuah hadist bahwa perjalanan menuju Allah sebanyak nafas manusia.

Masing – masing mereka memiliki tingkatan atau kedudukan (maqam) tersendiri. Konsep surga yang bertingkat – tingkat di akhirat nanti bisa dipahami dengan analogi diatas. Kita bisa mengasumsikan bahwa Tuhan merupakan tingkat eksistensi teratas, lalu kemudian para Imam, Rasul, Nabi, ulama dll. Lalu dimanakah posisi kita? Sebuah pertanyan yang memerlukan perenungan lebih dalam – kontemplasi.

Potensi akal adalah tidak terbatas. Melalui akal, manusia bisa naik ke tingkat eksistensi tertinggi. Ia bahkan bisa menyatu dengan yang sang absolut, eksistensi sejati. Inilah perjalanan panjang manusia menuju eksistensi tertinggi yang oleh Mulla Sadra menyebutnya sebagai al – harakatul jauhariyyah (gerak substansial). Sementara dalam bahasanya Suhrawardi yang sangat terkenal dengan filsafat illuminasi - nya (Israqiyyah) menuju puncak cahaya dari tingkatan esensi yang merupakan pancaran cahaya – Nya (emanasi). Suhrawardi merujuk pada salah satu surat dari surat An - Nur yang menggambarkan cahaya Allah.Eksistensi sejati adalah eksistensi yang menjadi sebab awal eksistensi berikutnya (causa prima). Pun sebaliknya, jika manusia tidak menggunakan potensi ini maka manusia dapat berada pada tingkat eksistensi yang setara dengan hewan atau bahkan lebih rendah lagi. Terjadi degradasi eksistensial. Bisa jadi ia manusia, namun sesungguhnya ia tidak lebih seperti hewan yang hanya menuruti instingnya. Akal yang seharusnya membimbingnya menuju eksistensi terkalahkan. Al – Quran secara indah menyitir hal ini seperti kutipan ayat diatas.

Ala kulli hal, alih – alih mempertanyakan menjadi diri sendiri yang menurut saya tidak terlalu penting karena hanya akan menjebak kita masuk pada persoalan – persoalan lain yang lebih mendasar misalnya, siapa manusia sesungguhnya dll. Menurut saya, lebih baik adalah kita berupaya secara terus menerus bekerja keras untuk naik ke tingkat eksistensi yang lebih tinggi. Saya lebih senang menyebutnya “menuju eksistensi tertinggi”. Inilah impian para kekasih – Nya (awliya’) dan kebahagiaan sejati – menyatu dengan realitas sejati.

Bagaimana cara kita meraihnya? Tentu saja dengan mengikuti contoh orang – orang yang telah berhasil melakukannya yang terekam dalam sejarah dan warisan – warisan yang ditinggalkannya, terutama para nabi, rasul, imam dan orang – orang suci. Salam rindu untuk mereka semuanya.

Hal inilah yang menurut saya sesungguhnya diri kita yang sejati. Diri ataupun identitas yang diinginkan oleh sang realitas sejati menghiasi alam – Nya. Dengan kasih sayang – Nya yang tiada henti, Ia selalu mengirimkan petunjuk melalui para Nabi, rasul serta para Imam dan orang – orang yang mengikuti mereka.

Pada satu hari, Muthahhari bertanya pada salah seorang anaknya, “Nak, apa cita – cita kamu nantinya? Ingin menjadi seperti apakah kamu? Lalu anaknya menjawab, “saya ingin seperti ayah?”, jawabnya singkat. Seorang Muthahhari adalah sosok ulama yang benar – benar menjadi pewaris ilmu para nabi. Namun kemudian Muthahhari menganulir jawaban anaknya tersebut, “janganlah nak, namun sebaiknya katakanlah, jadilah kamu atau keinginanmu menjadi seperti Imam Ali as, karena biasanya kita hanya akan dapat meraih atau mengikuti sebagian saja dari orang yang kita ikuti”, jawab Muthahhari.

Jadi kalau ada orang yang bertanya seperti apakah saya yang saya ingini. Saya tidak akan menjawabnya “be yourself’, yang menurut saya amatlah naif. Dalam konteks tertentu kalimat ini bisa saja dibenarkan - dataran praktis, namun tidak pada dataran visi. Sebaliknya saya akan menjawab seperti saran Muthahhari, bahwa saya ingin mengikuti dan menjadi seperti Imam Ali as dan para Ahlil Bayt.

Moga – moga dengan hal ini saya dapat menyerap sebagian saja dari apa yang mereka miliki. Memiliki sebagian saja dari sifat – sifat mereka merupakan karunia yang amat besar. Bukankah nanti diakhirat seperti yang disinyalir dalam sebuah hadist bahwa orang akan bersama dengan orang yang dicintainya. Mengikuti dan meniru (immitatio) mereka adalah salah satu bukti dari kecintaan kita kepada mereka.

Allahumma Shalli ‘ala Muhammad Wa ali Muhammad

Manajemen Data dalam Aplikasi Terdistribusi

Manajemen Data dalam Aplikasi Terdistribusi

Beberapa tahun yang lalu, permasalahan konektifitas dalam suatu institusi adalah bagaimana sebuah LAN (Local Area Network) bekerja sehingga karyawan dapat mengakses suatu database. Saat ini pada suatu era informasi -EBusiness- sebuah institusi harus meningkatkan kemampuan akses melalui jalur publik internet, supplier, sub-kontraktor, dan pelanggan.Dimasa masing-masing bagia tersebut mempunyai perbedaan dalam konektisitas , keamanan dan kebutuhan informasi, sehingga dengan menggunakan tool-tool lama maka integrasi dari kesemuanya adalah suatu ketidak mungkinan.

Pada saat ini permasalahan tersebut dapat diatasi dengan adanya Bahasa Java. Java di desain sebagai bahasa yang memiliki atribut sebagai berikut:

· Orientasi pada obyek, dimana pembuatan pemrograman bisnis sangat mudah

· Platform Hardware Independent, dimana pembuatan program Java dan obyek yang portabel.

· Mudah Untuk JAringan, kesederhanaan dalam komunikasi

· Dukungan Industri yang ekstensif, mudah dibangun untuk aplikasi yang kompleks

Keunggulan Java

Atribut kunci pada Java berbeda dari bahasa computer lainnya seperti independensi hardware, orientasi obyek, kemudahan dalam networking, dan dukungan pada industri yang ekstensif.

Platform Mesin Independen

Platform independen adalah dalam Java pada kompilasi program ke suatu standar kode byte yang berjalan pada suatu mesin virtual daripada ke bahasa mesin yang khusus. Java Virtual Machine (JVM) saat ini merupakan interface yang konsisten untuk programmer dan menyembunyikan deil dari hardware dan konfigurasi dari sistem operasinya.



Karena kode yang sama bekerja dalam jangkauan yang berbeda dari suatu system, maka dari mainframe ke portable, programmer bebas dari kesulitan penggandaan dari keunikan dari suatu system tertentu. Ketika suatau CPU baru atau arsitektur sistem operasi diimplementasi, maka Java Virtual Machine dan librarynya akan tersedia, aplikasi Java dapat dipergunakan pada lingkungan baru tanpa perlu adanya suatu modifikasi apapun.

Dukungan Industri dan Akademisi

Departemen ilmu computer dari dunia pendidikan sangat antusias mengadopsi Java. Peneliti-peneliti dari dunia pendidikan memberikan kontribusi yang sangat penting, khususnya untuk program yang berkaitan dengan masalah keamanan.

Didunia industri, departemen penelitian dan pengembangan menunjukkan bahwa Java merupakan revolusi dari software bisnis.

Standar dari Library Java dapat diterima dalam standard industri, misalnya protocol TCP/IP dan reprentasi Unicode pada alpabet intenasional.

Orientasi Obyek

Berbeda dengan C++, dimana merupakan campuran orientasi obyek dan style dari bahasa C, Bahasa Java merupakan obyek orirnted secara total. Java saat ini merupakan standar bahasa untuk pengajaran pemrograman berorientasi obyek dai banyak perguruan tinggi karena secara mendasar lebih mudah dibandingkan dengan C++.

Keuntungan utama dari orientasi obyek untuk pemrograman bisnis adalah pada obyek Java dapat mempunyai korespondensi one-to-one dengan event bisnis dan entitas bisnis. Hal ini dapat membuat kemungkinan untuk arsitektur system untuk mendesain lebih cepat dan programmer untuk menulis kode yang baik dengan sangat mudah. Fitur lain jika mendesain dengan model obyek Java adalah proses multi-tasking. Seorang desainer dapat mengantisipasi program Java untuk kebutuhan operasi dengan interkoneksi tinggi dimana banyak proses yang berbeda membutuhkan perhatian dan banyak thread untuk akses ke obyek yang sama.

Mudah dalam Networking

Banyak user internet menemukan Java dalam Java Applet, program kecil yang kapabel untuk berjalan didalam suatu web browser.Java Applet dibuat memungkinkan dengan class-class khusus dalam library standar yang memfasilitasi perpindahan keseluruhan form data dengan protocol web, mesipun demikian masih dapat menangani interface user yang kompleks.

JAVA dan CORBA

Object Management Group (OMG) didirikan pada tahun 1989 jauh sebelum Java diluncurkan yang merupakan organisasi non profit yang mengembangkan standarisasi untuk komunikasi berorientasi obyek diantara system database. Cooperative Object Request Broker Architecture (CORBA) merupakan standarisasi yang dihasilkan oleh OMG. CORBA mencapai sukses pada indepensi hardware dengan pendefisnisian arsitektur netral lanjut Interface Definition Language (IDL).

Standar library Java menyediakan class-class pada peta obyek Java untuk interface CORBA sebagaimana program Java dapat berkomunikasi dengan sebarang aplikasi CORBA .

Java dan SQL

SQL (Structured Query Language) adalah standar industri untuk database relasional. Java menyediakan Java Database Connectivity (JDBC) API untuk koneksi database mengunakan standar SQL. Layanan JDBC mengintegrasikan standar library Java dan dapat digunakan serta mendukung industri. Program Java menggunakan JDBC dapat membuat query dan transaksi dalam standarisasi denan perbedaan hardware dan platform system operasi. Obyek Java dapat membuat operasi database yang di lekatkan dalam suatu aplikasi untuk membedakan user dari kompleksitas operasi dalam suatu database.

Distribusi Obyek Java

Konsep persamaan dari orientasi obyek, mesin independent, konektisitas jaringan pada distribusi obyek Java, salah satu kapabilitas Java yang sangat penting. Sebuah obyek Java, atau koleksi obyek dapat dipindahkan diantara system dengan membawa data dan logic. Kapabilitas ini yang disebut dengan serialisasi obyek.

Gambar Obyek Java membawa logic dan Data melalui aplikasi dengan system yang berbeda

Java menyediakan Remote Method Invocation (RMI) merupakan salah satu obyek Java dapat dieksekusi sebagai suatu metode dalam suatu obyek yang terletak dala program lain pada komputer lain seperti sebagai sebuah program local. Kebutuhan koneksi jaringan antara dua obyek adalah diatur secara jelas.

Kelebihan Model Obyek Universal

Kemudahan perpindahan obyek Java dari satu aplikasi ke yang lainnya dapat digunakan untuk membuat kejelasan konektisitas database. Sebuah aplikasi dapat disertakan obyek Java untuk mengadakan transaksi database tanpa membuka user untuk kompleksitas pada statemen formulasi SQL. Obyek Java dapat membuat interface user portable, sehingga aplikasi dapat diupdate dengan interface komponen user baru dengan mudah melalui perpindahan obyek menggunakan transmisi data.

Java dan Aplikasi Multi Tier

Jaringan aplikasi bisnis modern secara tipikal dibuat dengan arsitektur multi-tier. Pendekatan ini secara fungsional kedalam tiga atau lebih layer atau tier, khususnya secara terpisah antara mesin ang terkoneksi dalam jaringan. Arsitektur ini memiliki uti;isasi yang terbaik pada sumberdaya pada setiap system, sekaligus meningkatkan kemudahan manajemen akses dan keamanan pengenalan pada database perusahaan. Desain yang baik maka suatu layer server membpunyai fungsi yang dapat dibedakan melalui beberapa mesin pada system dan dapat diskalakan sesuai dengan kenaikan trafik.



Client Side

Suatu client side dalam web adalah suatu browser yang dapat menampilkan halaman statis HTML (Hypertext Markup Language). Saat ini suatu browser dapat terkoneksi dengan presentasi multimedia dan halamam web dinamis. Browser berjalan dari desktop ke wireless melalui computer atau handphone. Kenyataannya suatu aplikasi menggunakan koektisitas internet mungkin dapat lebih penting daripada suatu browser, contohnya adalah apalikasi E-business. Jaringan aplikasi client untuk fungsi khusus mudah dikembangkan menggunakan Java memiliki factor penting yaitu:

  • Sistem representative untuk mengirimkan report bug
  • Suatu order melalui aplikasi untuk sales
  • Suatu system otomatis untuk supplier yang menerima order dan mengirim invoice

Layer Server Presentation

Layer presentasion pada server side meninterpretasi request dan format data untuk memberikan response ke client. Tampilan dapat berasal dari berbagai format yang berbeda. Untuk HTML, server dapat mengirim gambar, format data XML (eXtensible Markup Language) atau obyek Java. Java menggunakan teknologi servlet dan Java Server page untuk melayani layer ini.

Layer Server Logic

Server logic menjalankan request dan transmisi data dalam operasi database, khususnya menggunakan format SQL. Pada layer ini Java menggunakan Java Enterprise JavaBean.

Permasalahan dalam system terdistribusi

Jika suatu aplikasi bergantung pada kokeksi secara kontinu antara client dan jaringan, aplikasi client akan sedikit digunakan jika user tidak menggunakan koneksi internet. Jika aplikasi cient dapat berfungsi sementara offline, data harus rekonsiliasi dalam database perusahaan.

Keuntungan arsitektur sinkronisasi dalam Java adalah :

  • Aplikasi client yang powerfull
  • Database yang konsisten
  • Dukungan biaya yang tereduksi
  • Reduksi biaya Perawatan

(Fajar Junaedi EP/ STIMIK Tunas Bangsa Banjarnegara)