Selasa, 30 Desember 2008

Membaca Isyarat Alam sebagai Hidayah dari-Nya

Membaca Isyarat Alam sebagai Hidayah dari-Nya

(Taufiq Haddad)

“Tidak ada satupun ciptaan-Nya yang sia-sia. Semuanya memiliki tanda. Semuanya adalah kasih sayang-Nya”.

Percaya atau tidak percaya, saya meyakini bahwa alam kadang memberi kita isyarat-isyarat petunjuk yang kita perlukan dalam mengarungi hidup. Alam tidak pernah berhenti untuk selalu berdialog dengan kita. Dia tidak sekedar memberi reaksi, tapi juga membuat sebuah aksi yang mengisyaratkan sesuatu. Alam dapat dan selalu memberi tanda akan apa-apa yang akan terjadi.

Setelah beberapa peristiwa yang saya alami, di saat hubungan kita kepada-Nya sedemikian intensif, saya bahkan meyakini bahwa alam menjadi begitu ramah. Semua yang kita inginkan menjadi sangat mudah kita raih. Alam memberikan percikan-percikan tanda kepada kita. Kita merasakannya. Kita berbahagia dengan itu semua. Kita merasakan bahwa isyarat-isyarat tersebut merupakan anugerah dari-Nya yang kita sadari karena kondisi hati yang dipenuhi oleh cahaya-Nya. Petunjuk dari alam itu menjadi jelas buat kita. Kita menjadi dekat dengan alam dan menjadi salah satu sahabatnya.

Alam sebagai bagian dari mahluk-Nya, bukanlah sesuatu yang diciptakan hanya hanya untuk dieskploitasi demi kepentingan manusia tamak. Mereka hidup dengan caranya sendiri. Menjaga ekosistem, keharmonisan alam. Dalam al-Qur’an disebut bahwa semuanya bertasbih dengan caranya masing-masing. Alam– kita–dan Ilahi, adalah sebuah kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Dalam konsep Ibn Arabi, ini dikenal dengan konsep wahdatul wujud-satu tapi tidak menyerupai. Mulla Sadra menjelaskan kemajemukan (pluralitas) yang ada dari eksistensi yang satu dengan istilah gradasi wujud-kesatuan wujud dan keragaman esensi (wahdatul wujud wa kasratul maujud).

Ingat dengan ayat pertama dari al-Ikhlas. “Katakanlah (wahai Nabi) bahwa Allah itu Esa”. Esa tidak bertara. Eksistensi yang satu yang tidak bertara. Disaat kita melihat sesuatu yang sifatnya berjumlah (kuantitatif), maka kita akan memiliki konsep sesuatu tersebut di kepala kita. Misalkan, gelas. Saat kita melihat sebuah gelas, maka di kepala kita telah terekam benda gelas itu.

Di alam pikiran kita gelas itu tidak saja satu, bahkan kita dapat membayangkan, dan memduplikasikannya lebih dari satu. Sehingga walaupun gelas tersebut satu, tapi karena dia memiliki batasan (bertara), maka kita dapat membayangkannya dalam pikiran kita.

Ini yang berbeda dengan Tuhan. Ia tidak satu yang berjumlah. Ia juga tidak memiliki batasan, sehingga akal tidak dapat membayangkan satu yang lain (duplikasi) dalam alam pikiran. Akal tak akan dapat menyerap dan memahami keluasan eksistensi-Nya. Satu-nya tak bertara. Satunya adalah sebuah kesejatian eksistensial.

Sekali kita mencoba menciderai yang satu, maka pasti hal tersebut akan berimbas pada yang lainnya-sebagaimana sistem mekanis yang bekerja. Namun tingkat keterkaitan didalamnya tidaklah semekanis yang dibayangkan karena hal ini berkaitan dengan alam spiritual-alam tingkat tinggi.

Sebaliknya, jika kita tidak lagi memiliki ikatan yang kuat kepada–Nya, maka alam seolah menjauh dengan kita. Bahkan, ia tidak lagi menjadi ramah kepada kita. Hal ini diisyaratkan dalam doa Kumayl bin Ziyad, yang merupakan do’a yang Imam Ali as. ajarkan, menyebutkan bahwa bencana dapat muncul akibat dosa – dosa yang kita lakukan. ….” Ya Allah ampunilah dosa-dosaku yang mendatangkan bencana”.. (cuplikan dari do’a Kumayl, yang umumnya dibaca para pencinta Ahlil Bayt setiap malam Jum’at).

Di saat kita dalam kondisi spiritual yang sangat baik, tanda atau isyarat itu menjadi sangat nyata. Tanda-tanda alam itu langsung mengimpuls alam bawah sadar kita, bahwa pasti akan ada sesuatu yang akan terjadi. Sudah sering kita dengar banyak orang yang tiba-tiba saja menjadi resah karena di tempat lain ada famili atau keluarganya yang mengalami suatu peristiwa. Terkadang isyarat itu datang melalui mimpi, tapi terkadang melalui kerja hati dll.

Tuhan sangat kreatif menyampaikan rahmat dan kasih sayang-Nya. Kadang itu diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk cobaan, ketakutan dll. Dengan penderitaan tersebut Ia mengundang hamba-Nya untuk berdialog dan memohon sesuatu kepada-Nya. Tuhan akan mendengarkan seluruh tangisan dan penderitaan yang hamba kesayanganya alami. Ia tidak pernah diam. Ia mengontrol seluruh pergerakan alam raya. Ia akan menghibur hamba-hamba-Nya. Sementara bagi hamba-Nya adalah sebuah anugerah dapat merasakan kebutuhan yang mendalam dan memohon kepada sesuatu yang tepat, yaitu penyebab utama dari rangkaian sebab sesuatu, Allah SWT.

Di saat seperti ini, sungguh saya membutuhkan isyarat itu? Dimanakah saya dapat menemukannya? Sebenarnya isyaratnya telah sangat jelas. Bahkan ia sesungguhnya memang sesuatu yang jelas. Persoalan kejelasannya bukan pada objek isyarat tersebut, tapi pada subjek sang pengamat seperti saya ini. Sudahkah saya menjadi hamba-Nya yang taat, sehingga saya memiliki cahaya yang cukup untuk mengenalinya.

Ya Ilahi, ampunilah dosa dan kesalahan kami. Bantulah kami menjadi hamba-hamba-Mu yang paling taat pada-Mu, agar kami dapat menangkap isyarat- isyarat kasih sayang-Mu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar