Allah dan Tuhan
Oleh: Muhsin Labib Eksistensi Tuhan adalah salah satu masalah paling fundamental manusia, karena penerimaan maupun penolakan terhadapnya memberikan konsekuensi yang fundamental. Alam luas yang diasumsikan sebagai produk sebuah kekuatan yang maha sempurna dan maha bijaksana dengan tujuan yang sempurna berbeda dengan alam yang diasumsikan sebagai akibat dari kebetulan atau insiden. Manusia yang memandang alam sebagai hasil penciptaan Tuhan Maha Bijaksana adalah manusia yang optimis dan bertujuan. Sedangkan manusia yang memandang alam sebagai akibat dari serangkaian peristiwa acak atau chaos adalah manusia yang pesimis, nihilis, absurd dan risau akan kemungkinan-kemungkinan yang tak dapat diprediksi. Umat manusia sejak awal kehadirannya di atas pentas sejarah telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang digunakan masing-masing, kepada kausa prima alam keberadaan. Orang Persia menyebutnya Yazdan atau Khoda. Orang Inggris menyebutnya Lord atau God. Kita menyebutnya Tuhan atau Sang Hyang. Dialah Tuhan Maha Sempurna. Kepercayaan pada “yang adikodrati”, merupakan bagian integral dari kehiupan manusia, baik terbentuk dalam sebuah lembaga transendental yang disebut “agama” maupun tidak diagamakan. Kendati demikian, konsep dan keyakinan tentang Tuhan telah berkembang dan terpecah dalam beberapa aliran ketuhanan.
Tuhan sejak babak pertama peradaban sampai sekarang telah menjadi objek pengimanan dan penolakan. Manusia, sebelum dibagi dalam kelompok agama bahkan sebelum dibagi dalam kelompok monteis dan politeis, telah terbagi dalam dua aliran besar, ateisme dan teisme. Istilah ini berasal dari kata Yunani atheos (tanpa Tuhan) dari a (tidak) dan theos (Tuhan). Ia adalah aliran yang menolak adanya Tuhan Pencipta alam semesta. Dalam bahasa Arab disebut Al-ilhad.
Kata yang memberikan signifikansi wujud Pencipta dalam al-Qur’an sangat banyak. Semuanya dapat dibagi dalam beberapa dimensi dan konteks.
Pertama, kata yang menunjuk Tuhan dipergunakan sebagai nama umum atau atribut universal.
Kedua, kata yang menunjuk Tuhan digunakan dalam dua bentuk sekaligus, universal dan personal.
Ketiga, kata yang menunjuk Tuhan digunakan sebagai nama umum semata. Keempat, kata yang mengandung arti kesempurnaan dan kebaikan. (al-asma’ al-hunsa).Kata “Tuhan”, misalnya, yang bila digunakan sebagai nama umum, maka huruf “t” di depannya dikecilkan, dan bila digunakan untuk menunjuk nama khusus, maka huruf “t” di depannya dibesarkan (Tuhan). Demikian pula “God” dalam bahasa Inggris atau “Khoda” dalam bahasa Persia. Karena itu bila ada yang mengartikan la ilaha illallah dengan “tiada tuhan selain Tuhan” bisa ditolerir.
Kelima, kata yang menunjuk “Tuhan” digunakan sebagai nama personal (alam syakhshi) semata. Dalam bahasa Arab, kata “Allah” sebagai lafdh al-jalalah (nama kebebasaran) dipergunakan dan ditetapkan sebagai nama personal (alam syakhshi). Sedangkan al-rahman ditetapkan sebagai predikat khusus. Selain dari kata Allah (yang merupakan nama khusus) dan kata al-rahman (yang merupakan sifat khusus), tidak bersifat khusus.[1] Itulah sebabnya mengapa kata “rabb”, ilah”, “khaliq” digunakan untuk selain Allah, bahkan “ra’uf” dan “rahim” digunakan untuk Nabi, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan, lagi penyayang terhadap orang-orang mukminn” (QS Al-Taubah: 128).
Atas dasar itu, kata “Allah”, baik berupa kata baku (jamid) ataupun kata olahan (musytaq), ditetapkan sebagai sebuah “nama personal”, dan ia tidak mempunyai arti selain Dzat Adikodrati SWT. Namun, tatkala Dzat Kudus tersebut tidak dapat diinderakan, maka untuk mengenali arti “Allah”, mereka menggunakan sebuah simbol yang berkonotasi secara eksklusif pada Allah seperti “Dzat yang menghimpun sifat-sifat kesempurnaan”, bukan berarti kata “Allah” ditetapkan untuk mengartikan rangkaian pengertian-pengertian ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa pembahasan seputar materi dan bentuk kata ini tidak akan dapat membantu kita untuk memahami artinya sebagai sebuah nama personal (alam syakhshi).
Kata personal Allah karena oleh sebagian besar mfassir dianggap sebagai ism makrifah dengan alif dan lam (kata tertentu), menurut kaidah kesusateraan, kurang tepat dikaitkan dengan sebutan panggilan “ya”. Karena itulah, bisa dipastikan kalimat “ya Allah” (wahai Allah) tidak terdapat dalam al-Qur’an[2]. Kata “Ya” diganti dengan huruf mim yang di-syaddah-kan dan difathahkan pada bagian akhir kata Allah, maka jadilah “Allahumma”. Kata panggilan khas ini ditemukan 1 kali dalam surah ali-imran ayat 26, 1 kali dalam al-maidah ayat 114, 1 kali dalam al-anfal ayat 32, 1 kali dalam Yunus ayat 10, 1 kali dalam az-zumar ayat 46[3].
Namun kata Allah menurut sebagian ulama bukanlah bentuk makrifah dari ilah. Kata ini dianggap berasal dari bahasa Ibrani yang diadaptasi ke dalam bahasa Arab. Kata ini menurut mereka juga yang berarti dzat Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dalam agama ortodoks Suriah bahkan sekte-sekte Kristen lainnya, diaykini sebagai kata atau nama personal Tuhan Bapa[4].
Dalam kitab suci al-Qur’an, kata yang juga memberikan signifikansi pada Allah adalah “ilah” dan “rabb”. Kata “ilah” juga digunakan dalam syahadat la ilaha illallah. Kata “ilah” adalah bentuk kata yang mengikuti wazan “fi’al” yang berarti “maf’ul”. Ilah berari “ma’bud” (yang disembah), seperti “kitab” yang berarti “maktub” (yang ditulis). Dengan demikian, la ilaha illallah dapat diartikan “tiada yang layak disembah selain Allah” [5]
Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia, misalnya, hampir memiliki arti yang berdekatan dengan “tuan’ yang berarti “majikan” atau “pemilik”, seperti tuan rumah yang berarti pemilik rumah[6], atau kata “Hyang” yang memiliki arti berdekatan dengan “eyang’ yang berarti kakek atau nenek. Hanya saja, yang perlu diperjelas apakah “tuhan” menunjuk “Sang pencipta” (al-khaliq) ataukah menunjuk “Yang disembah” (al-ilah, al-ma’bud). Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang lebih dekat dengan al-rab dalam bahasa Arab yang berarti “Maha Pengatur”. Seandainya “tuhan” atau “ilah” berarti “Pencipta” (al-khaliq), maka syahadat la ilaha illallah berarti “tiada pencipta selain Allah”. Tentu syahadat dengan arti seperti ini tidak mengecualikan para kaum Quraisy penyembah berhala dan kaum musyrikin lainnya, yang sejak semula meyakini Allah sebagai pencipta. (QS. Luqman: 25).
Dalam Al-Qur’an kata Allah disebutkan sebanyak 930 kali,[7] Kata ilah (tanpa dhamir) dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 80 kali. [8]
Arti ilah dalam rangkaian syahadah (kalimah al-tahlil) bisa berarti al-ma’bud atau yang disembah, dan bisa pula berarti al-ma’bud bil haq[9]. Apabila arti pertama dipilih, maka setiap sesuatu yang dalam kenyataan disembah selain Allah dapat dianggap sebagai ilah. Apabila arti kedua yang dipilih, maka berarti ilah hanya bisa disandang oleh Allah, sebab al-ma’budiyah (ke-tersembah-an) merupakan derivasi dari al-rububiyah.
Kata rabb dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 84 kali. 1 dalam al-fatihah, 1 dalam al-baqarah, 1 dalam al-ma’idah, 4 dalam al-an’am, 6 dalam al-a’raf, 1 dalam al-thaubah, 2 dalam Yunus, 1 dalam al-ra’du, 1 dalam al-isra’, 1 dalam al-kahfi, 1 dalam Maryam, 1 dalam Thaha, 2 dalam al-anbiya’, 3 dalam al-mukminun, 15 dalam al-syu’ara’, 4 dalam al-naml, 1 dalam al-qashas, 1 dalam al-sajdah, 1 dalam saba’, 1 dalam Yasin, 6 dalam al-shafat, 1 dalam shat, 1 dalam al-zumar, 3 dalam ghafir, 1 dalam fusshilat, 3 dalam al-zukhruf, 2 dalam al-dukhan, 3 dalam al-jastiah, 1 dalam al-dzari’at, 1 dalam al-najm, 2 dalam al-rahman, 1 dalam al-waqi’ah, 1 dalaal-hasyr, 1 dalam al-haqah, 1 dalam al-mi’raj, 1 dalam al-muzzammil, 1 dalam al-naba’, 1 dalam al-takwir, 1 dalam al-muthaffifin, 1 dalam Quraisy, 1 dalam al-falaq, 1dalam al-nas[10].
Selain berupa kata personal Allah, Ilah dan rabb, Tuhan juga merupakan entitas penghimpun semua nama-nama terbaik (al-asma al-husna). Kata al-asma al-husna disebutkan 4 kali dalam al-Qur’an, 1 dalam surah al-a’raf ayat 180, 1 dalam al-isra’ ayat 110, 1 dalam Thaha ayat 8, dan 1 dalam al-hasyr ayat 24[11]. Dengan demikian, nama dan sifat yang memberikan signifikansi kebaikan dan kesempurnaan maksimum adalah milik Allah. Karenanya, nama dan sifat manusia berasal dari Allah sebagai Pemilik absolut nama-nama terbaik. Dalam sebuah hadis, Nabi memerintahkan kita untuk berakhlak dengan akhlak Allah. Dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang menekankan tentang posesi atau kepemilikan Tuhan atas semua nama terbaik. (QS. Al-hadid: 4, QS. al-a’raf: 180, Thaha: 8, QS. al-isra’: 110, QS. al-hasyr,: 24).
الله لااله الاهو , له الاسماء الحسنى
ولله الاسماء الحسنى فادعوه بها
Menurut sebagian mufassir mutakhir, tidak ada dalil qath’iy (definitif) tentang ketentuan jumlah al-asma al-husna, meskipun yang populer dalam riwayat disebutkan berjumlah 99[12]. Setiap nama (ism) dalam alam keberadaan adalah sebaik-baik nama (ahsan al-asma). Semuanya adalah milik Allah SWT. Karena itulah, jumlah nama Allah tidaklah terbatas[13]..
Dengan nama-nama terbaik yang banyak dan mencakup spektrum dimensi dan nilai kesempurnaan maksimal itulah, hamba-hamba-Nya berpeluang untuk berkomunikasi dengan Allah. Seorang yang papa dan dirundung kemiskinan dapat memanggil-Nya dengan nama al-karim, al-raaziq, al-razzaq. Seseorang yang bergelimang dosa dapat memohon ampunannya dengan memanggil-Nya dengan al-ghaffar. Seseorang yang ingin mendapatkan petunjuk dapat menyeru-Nya dengan nama al-haadi dan sebagainya.
Yang patut diketahui ialah bahwa kata asma’ juga dapat diartikan sebagai sifat-sifat, karena ism dalam ilmu sharf mencakup ism al-fa’il dan al-sifat al-musyabbahah. Menurut Thabathabai, al-asma al-husna adalah setiap kata yang menunjukkan arti predikatif seperti ilah, al-hayy dan lainnya. Sedangkan kata Allah, adalah alam syakhshi atau alam-al-dzat, yang merupakan nama personal bagi Tuhan[14].
Kata ism yang dikaitkan (diidhafahkan) dengan Allah dan rabb, berjumlah 18, yaitu 4 dalam surah al-an’am, 1 dalam al-ma’idah, 5 dalam al-haj, 1 dalam al-rahman, 2 di al-waqi’ah, 1, dalam al-hāqah, 1 dalam al-muzzammil, 1 dalam al-insan, 1 dalam Hud, dan 1 dan al-naml. Jika bismillahirrahmanirrahim dianggap sebagai pembuka dan bagian dari setiap surah, kecuali surah al-Bara’ah, maka jumlah keseluruhan ism yang diidhafahkan pada Allah dan Rab berjumlah 131[15].
Al-ism al-a’dham, menurut opini masyarakat Arab, adalah ism lafdhi yang merupakan salah satu dari asma Allah, yang bila diseru dalam doa, maka dikabulkan. Namun, anehya, ia tidak tergolong dalam al-asma al-husna yang populer, dan tidak pula dianggap sebagai bagian dari lafdhul-jalalah. Menurut mereka, al-ism al-a’dham terdiri atas huruf-huruf tak dikenal (huruf majhulah) dengan komposisi yang tak dikenal pula. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa kata Allah dalam bimalah itulah yang dimaksud dengan al-ism al-a’dham. [16].
Asma’ Allah atau al-asma al-husna kadang kala dikaitkan dengan sifat-sifat Allah (sifatullah). Menurut Sayyid Quthub, firman Allah itu mengandung makna bahwa manusia dibenarkan memanggil atau menyeru dan menamakan Tuhan mereka sekehendak mereka sesuai dengan nama-nama-Nya yang paling baik (al-asma al-husna). Firman itu juga merupakan sanggahan terhadap kaum Jahiliah yang mengingkari nama “al-Rahman”, selain nama “Allah”[17]. [l3] Berkenaan dengan alasan turunnya firman itu, tafsir-tafsir klasik menuturkan adanya Hadits dari Ibn Abbas, bahwa di suatu malam nabi beribadat, dan dalam bersujud beliau mengucapkan: “Ya Allah, ya Rahman”. Ketika Abu Jahal, tokoh musyrik Makkah yang sangat memusuhi kaum beriman, mendengar tentang ucapan Nabi dalam sujud itu, ia berkata: “Dia (Muhammad) melarang kita menyembah dua Tuhan, dan sekarang ia sendiri menyembah Tuhan yang lain lagi.” Ada juga penuturan bahwa ayat itu turun kepada Nabi karena kaum Ahl al-Kitab pernah mengatakan kepada beliau, “Engkau (Muhammad) jarang menyebut nama al-Rahman, padahal Allah banyak menggunakan nama itu dalam Taurat.[18]“
Maka turunnya ayat itu tidak lain ialah untuk menegaskan bahwa kedua nama itu sama saja, dan keduanya menunjuk kepada Hakikat, Dzat atau Wujud yang satu dan sama. Zamakhsyari, al-Baidlawi dan al-Nasafi menegaskan bahwa kata ganti nama “Dia” dalam kalimat “maka bagi Dia adalah nama-nama yang terbaik” dalam ayat itu mengacu tidak kepada nama “Allah” atau “al-Rahman”, melainkan kepada sesuatu yang dinamai, yaitu Dzat (Esensi) Wujud Yang Maha Mutlak itu. Sebab suatu nama tidaklah diberikan kepada nama yang lain, tetapi kepada suatu dzat atau esensi. Jadi, Dzat Yang Maha Esa itulah yang bernama “Allah” dan atau “al-Rahman” serta nama-nama terbaik lainnya, bukannya “Allah” bernama “al -Rahman” atau “al-Rahim”.
Jadi yang bersifat Maha Esa itu bukanlah Nama-Nya, melainkan Dzat atau Esensi-Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena itu al-Baidlawi menegaskan bahwa paham Tauhid bukanlah ditujukan kepada nama, melainkan kepada esensi. Maka Tauhid yang benar ialah “Tawhid al-Dzat” bukan “Tawhid al-Ism” (Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama)[19].
Pandangan Ketuhanan yang amat mendasar ini diterangkan dengan jelas sekali oleh Ja’far al-Shadiq, guru dari para imam dan tokoh keagamaan besar dalam sejarah Islam, baik untuk kalangan Ahl al-Sunnah maupun Syi’ah. Dalam sebuah penuturan, ia menjelaskan nama “Allah” dan bagaimana menyembah-Nya secarabenar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam: “Allah” (kadang-kadang dieja, “Al-Lah”) berasal “ilah” dan “ilah” mengandung makna “ma’luh’, (yang disembah), dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai (al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna (sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna tanpa nama maka itulah Tawhid. Engkau mengerti, wahai Hisyam?” Hisyam mengatakan lagi, “Tambahilah aku (ilmu)”. Ja’far al-Shadiq menyambung, “Bagi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung ada sembilanpuluh sembilan nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu Tuhan. Tetapi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung adalah suatu Makna (Esensi) yang diacu oleh nama-nama itu, sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya tidaklah sama dengan Dia…[20]”
Kalau kita harus menyembah Makna atau Esensi, dan bukan menyembah Nama seperti yang diperingatkan dengan keras sebagai suatu bentuk kemusyrikan oleh Ja’far al-Shadiq itu, berarti kita harus menunjukkan penyembahan kita kepada Dia yang menurut al-Qur’an memang tidakt ergambarkan, dan tidak sebanding dengan apapun. Berkenaan dengan ini, ‘Ali Ibn Abi Thalib ra. mewariskan penjelasan yang amat berharga kepada kita Dia mengatakan, “Allah” artinya “Yang Disembah” (al-Ma’bud), yang mengenai Dia itu makhluk merasa tercekam (ya’lahu) dan dicekam (yu’lahu) oleh-Nya. Allah adalah Wujud dan tertutup dari kemampuan penglihatan, dan yang terdinding dari dugaan dan benih pikiran[21].
Dan Muhammad al-Baqir ra. menerangkan, “Allah” maknanya “Yang Disembah” yang agar makhluk (aliha, tidak mampu atau bingung) mengetahui Esensi-Nya (Mahiyyah) dan memahami Kualitas-Nya (Kaifiyyah). Orang Arab mengatakan “Seseorang tercekam (aliha) jika ia merasa bingung (tahayyara) atas sesuatu yang tidak dapat dipahaminya, dan orang itu terpukau (walaha) jika ia merasa takut (fazi’a) kepada sesuatu yang ia takuti atau kuatirkan.[]
Penulis: Alumnus Hauzah Ilmiah Qom, Republik Islam Iran. Kandidat Doktor Filsafat Islam di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini aktif sebagai dosen ICAS-Paramadina Jakarta, Menejer Penerbit AL-HUDA, Direktur Penerbit CITRA, Anggota Dewan Redaksi majalah dwimingguan ADIL Rujukan:
[1] M. Fuad Abdul-Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadh Al-Qur’an, hal. 62-63, Mu’assasah Al-a’lami li al-mathbu’at, 1991. [2] Dalam kaidah gramatika Arab, Tidak dibenarkan seseorang memanggil dengan Ya al-alim, misalnya, dengan tidak membuang alif dan lam [3] Op.cit. Muhammad Fuad Abd. Baqi, Al-mu’jam al-mufahras, 96, Istanbul [4] Summa Theologica, Ia, q. 2, a. l. Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Pustaka Filsafat, hal. 141 [5] M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif Al-Qur’an, vol 1, hal. 26, Jami’ah Mudarrisin, Qom, 1987 [6] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, hal: 963
[7] yaitu sebanyak 107 dalam al-baqarah, 116 dalam ali-imran, 32 dalam an-nisa’, 38 dalam al-almaidah, 41 dalam al-an’am, 6 dalam al-a’raf, 35 dalam al-anfal, 67 dalan at-taubah, 20 dalam yunus, 5 dalam hud, 28 dalam yusuf, 1 dalam ar-ro’du, 10 dalam ibrahim, 29 dalam an-nakhl, 3 dalam al-isra’, 8 dalam al-kahfi, 2 dalam maryam, 5 dalam thaha, 1 dalam al-anbitya’, 15 dalam al-haj, 4 dalam al-mukminun, 37 dalam an-nur, 4 dalam ar-furqon, 7 dalam an-naml, 9 dalam al-qashas, 13 dalam al-ankabut, 9 dalam ar-rum, 3 dalam lukman, 1 dalam as-sajdah, 34 dalam al-ahzab, 2 dalam as-saba’, 7 dalam fathir, 2 dalam yasin, 4 dalam as-shafat, 1 dalam shat, 24 dalam az-zumar, 18 dalam ghofir, 2 dalam fusshilat, 19 dalam syura, 1 dalam zukhruf, 1 dalam ad-dukhan, 6 dalam al-jastiah, 1 dalam al-ahqaq, 15 dalam muhammad, 21 dalam al-fath, 7 dalam al-hujurat, 1 dalam at-thur, 2 dalam am-najm, 8 dalam al-hadid , 18 dalam al-mujadalah, 9 dalam al-hasyr, 9 dalkam al-mumtahanah, 1 dalam as-shaf, 4v dalam al-jumu’ah, 6 dalam al-munafiqun, 9 dalam at-taghabun, 8 dalam at-thalaq, 8 dalam at-tahrim, 2 dalam al-mulk, 3 dalam nuh, 1 dalam al-jin, 1 dalam al-muzzammil, 3 dalam al-muddasstir, 2 dalam al-insan, 1 dalam al-nazi’at, 1 dalam al-takwir, 1 dalam al-insyiqaq, 2 dalam dalam al-buruj, 1 dalam al-ghatiah, 1 dalam al-tin, 1 dalam al-bayyinah, 1 dalam al-ikhklas[7]. [8] 4 dalam al-baqarah, 5 dalam ali imran, 2 dalam al-nisa’, 2 dalam al-ma’idah, 4 dalam al-an’am, 5 dalam al-a’raf, 2 dalam al-thaubah, 1 dalam Yunus, 4 dalam Hud, 1 dalam al-ra’du, 1 dalam Ibrahim, 3 dalam al-nakhl, 1 dalam al-kahfi, 1 dalam Thaha, 4 dalam al-anbiya’, 1 dalam al-haj, 5 dalam al-mukminun, 6 dalam al-nahl, 6 dalam al-qashas, 1 dalam Fathir, 1 dalam al-shafat, 1 dalam Shat, 1 dalam al-zumar, 4 dalam Ghafir, 1 dalam fusshilat, 2 dalam zukhruf, 1 dalam al-dukhan, 1 dalam Muhammad, 1 dalam al-thur, 2 dalam al-hasyr, 1 dalam al-taghabun, 1 dalam am-muzzamil, 1 dalam al-nas [9] M. Fuad Abdul-Baqi, Mu’jam Al-mufahras, vol 14, hal. 122, Mu’assasah Al-a’lami li al-mathbu’at, 1991. [10] Ibid, 362-365 [11] ibid. 459. [12]Lihat Al-dur al-manstur, al-mustadrak, Sunan Thabarani, Sunan al-Bayhaqi. [13] Berdasarkan pendapat ini, jumlah asma’ al-husna yang dapat ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 127, yaitu al-ilah, al-ahad, al-awwal, al-akhir, al-a’la, al-akram, al-a’lam, arham al-rahimin, ahkam al-hakimin, ahsan al-khaliqin, ahl al-taqwa, ahl al-maghfirah, al-tawwab, al-jabbar, al-jami’, al-hakim, al-halim, al-hayy, al-haq, al-hamîd, al-hasîb, al-hafîdh, al-khafi, al-khabir, al-khaliq, al-khallaq, al-khair, khair al-hakimin, khair al-makirin, khair al-raziqin, khair al-fashilin, khair al-fatihin, khair al-ghafirin, khair al-waritsin, kahir al-rahimin, khair al-munzilin, zdu al arsy, zdu al-thaul, zdu al intiqam, dzul al-fazhl al-adhim, dzu al-rahmah, dzul al-quwwah, dzul al-jalal wa al-ikram, dzul al-ma’arij, al-rahman, al-ra’uf, al-rabb, rafi’ al-darajat, al-razzaq, al-raqib, al-sami’, al-salam, sari’ al-hisab, sari’ al-iqab, al-syahid, al-syakir, al-syakur, syadid al-iqab, syadid al-mihal, al-shamad, al-dhahir, al-alim, al-aziz, al-afwu, al-aliy, al-adhim, allam al-ghuyub, alim al-ghyb wa al-syahadah, al-ghaniy, al-ghafur, al-ghalib, ghafir al-dzam, al-ghaffar, faliq al-ishbah, faliq al-habb wa al-nawa, al-fathir, al-fattah, al-qawiy, al-quddus, al-qayyum, al-qahir, al-qahhar, al-qarib, al-qâdir, al-qadîr, qabil al-taub, al-qa’im ala kulli nafs bi ma kasabat, al-kabir, al-karim, al-kafi, al-lathif, al-malik, al-mu’min, al-muhaimin, al-mutakkabir, al-mushawwir, al-majîd, al-mujib, al-mubin, al-mawla, al-muhith, al-muqit, al-muta’al, al-muhyi, al-mutabayyin, al-mutaqaddir, al-musta’an, al-mubdiy, malik al-mulk, al-nashîr, al-nur, al-wahhab, al-wahid, al-walîy, al-wâli, al-wasi’, al-wakil, al-wadud, al-hadiy. Lihat Al-mu’jam Al-mufahras, vol 8, hal. 361-363 [14] Ibid, hal. 124 [15] Fud Abdul-Baqi, Al-mu’jam Al-mufahras, hal. 459, Istanbul. [16] M.h. Thbathabai, Al-Mizan fi tafsir al-Qur’an,vol. 8, hal. 359, Muassasah Al-alami li al-mathbu’at, Beirut, 1991. [17] QS. al-Isra’/17:110. [18] Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur’an, Jil. 5, Juz 15, hal. 73, Dar Al-syuruq, Cairo, 1987. [19] Untuk pembahasan ini, lihat tafsir ayat bersangkutan dalam kitab-kitab tafsir klasik: Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil oleh al-Baidlawi, al-Kasysyaf al-Zamaksyari, Tafsir al-Khazin oleh al-Baghdadi, Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil oleh al-Nasafi, dll. [20] Yaitu keterangan dari Ali ibn Abi Thalib r.a., menurut sebuah penuturan; [tulisan Arab]. [21] ibid |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar