Selasa, 30 Desember 2008

Doa Menembus Alam Realitas Material

(Taufiq Haddad)
“Saya tidak, pada awalnya, mendapatkan (gagasan – gagasan) lewat proses berfikir (kogitasi), melainkan lewat sesuatu yang lain. Hanya setelah itu saya mencari bukti –bukti tentangnya” .
(Syaikh Isyraq – Syihabuddin Suhrawardi)

Tiap malam Jum’at, saya memiliki kesempatan mengevaluasi apa yang telah saya lakukan selama satu minggu terakhir. Biasanya ini saya lakukan di tengah menyimak pembacaan doa Kumayl yang saya ikuti di Yayasan Fathimah di bilangan Condet Batu Ampar, Jakarta Timur. Paling tidak tiga minggu terakhir ini saya selalu menyempatkan diri hadir disana.

Selain membaca doa, saya juga bertemu dengan teman – teman dari Jalsa Jakarta, yang merupakan forum kajian dua mingguan yang juga rutin saya ikuti. Jalsa adalah sebuah forum yang didirikan sebagai forum berkumpulnya teman – teman yang concern dengan wilayatul faqih. Usai membaca doa biasanya kami membicarakan perkembangan dan arah forum yang baru didirikan setelah Ramadhan 1425 kemarin. Seperti namanya yang berarti “duduk – duduk (santai)”, sesungguhnya forum tersebut ingin memberi nilai lebih dari pertemuan yang biasanya sering dilakukan. Menariknya forum semacam ini telah cukup banyak tersebar di tempat – tempat lain seperti: Bogor, Garut, Bandung, dll.

Selain doa Kumayl yang rutin dibaca, juga diikuti dengan doa lainnya yang dibaca secara berselingan tiap minggu seperti: doa menanti Imam Zaman as, Hadits al – Kisa’, Jausyan Kabir, doa Nabi Idris as (doa sholat malam), doa taubat, dll. Di saat seperti itu, saya mendapatkan banyak hal terutama saat membaca rangkain untaian kata – kata indah dari doa yang hingga saat ini menurut saya belum mendapatkan padanan yang sepadan dengan doa tersebut – khasanah dari Ahlil Bayt (salam untuk mereka semuanya). Saya bersyukur diberi kesempatan dapat menghadiri majlis – majlis yang selalu mengingatkan kelemahan saya dihadapan – Nya, pengharapan yang amat besar akan rahmat – Nya dll. Berikut ini saya kutipkan satu rangkain kutipan sangat indah doa Kumayl tersebut:


Kini aku datang menghadap kepada – Mu, ya Ilahi
Setelah semua kecerobohan dan pelanggaranku atas diriku
Memohon maaf, mengungkapkan penyesalan dengan hati luluh
Merasa jera, mengharapkan ampunan menginsyafi kesalahan
Mengakui kelalaian, menyadari kecerobohan, menginsyafi kesalahan
Tiada kutemui tempat melarikan diri, dari (dosa – dosa) yang telah kulakukan
Dan tiada tempat berlindung agar ku terlepas dari segala noda dan beban
Melainkan Kau kabulkan permohonan ampunanku
Dan Memasukan daku ke dalam lautan kasih – Mu
Ya Allah, terimalah alasan (pengakuan) ku ini
Dan kasihanilah beratnya kepedihanku
Dan bebaskanlah daku dari kekuatan belengguku


Saya selalu berusaha menikmati dan mensyukuri suasana spiritual dan keakraban yang saya rasakan. Pembacaan doa ini menjadi penghubung (connection) yang amat sakral dalam menyampaikan pengharapan dan kasih sayang kepada Yang Maha Agung. Kalau sebelumnya saya memahami bahwa doa merupakan sebuah kebutuhan inheren pada manusia yang menghubungkan manusia dengan realitas absolut (lihat: Doa Cara Manusia Menjalin Hubungan dengan Realitas Absolut). Kini pelan – pelan keingintahuan saya mengenai hakikat doa sedikit bertambah dengan pemahaman baru. Walaupun saya akui masih banyak hal yang misterius didalamnya.

Kutipan Suhrawardi diatas menjadi stimulus buat saya dalam memahami pesan – pesan ilahiyyah yang datang secara intuitif – doa adalah salah satu perintah – Nya. Kita yang lemah ini berusaha menyerap dan memahami seluruh – Nya secara deduktif, bahwa seluruh perintah – Nya adalah kasih sayang semata dan yang ada hanyalah kebaikan (premis mayor). Seperti Suhrawardi sampaikan diatas, banyak pengetahuan yang didapatinya pada mulanya tidak diperoleh melalui pemikiran, baru kemudian bimbingan tersebut dapat diverifikasikan penjelasannya. Kadang pengetahuan ataupun ilham yang didapat sangat personal sifatnya.

Suasana yang saya maksudkan disini tidaklah selalu bahwa hanya di tempat seperti Yayasan tersebut saja yang menjadi tempat khusus, namun sebaliknya doalah yang telah membuat ruang itu menjadi demikian bercahaya. Jika kita mengacu dengan filsafat iluminasinya Suhrawardi dimana wujud diidentikan dengan cahaya, dimana Tuhan – lah cahaya sejati dan sempurna, sementara selanjutnya terdapat wujud lain yang bertingkat dibawahnya. Sehingga dalam perspektif ini semakin kita mendekati cahaya, maka intensitas cahaya wujud tersebut akan lebih banyak kita dapatkan.

Memahami filsafat Iluminasi Suhrawardi bisa dianalogikan atau di dekati misalnya dengan kumpulan orang disebuah tempat yang ada lampu besar diatasnya. Orang yang berada didekat lampu tentu saja akan menerima cahaya yang lebih banyak daripada yang jaraknya lebih jauh. Semakin orang tersebut jauh dari lampu, maka semakin kecil intensitas cahaya yang ia serap, bahkan menuju ke arah gelap. Analogi ini menjadi terasa “pas” buat kita. Dalam hidup yang kita lewati kian hari malah semakin jauh dari sumber cahaya – Tuhan. Cahaya yang kita miliki sangat redup karena jauhnya kita dari cahaya sejati (Allah), untuk tidak mengatakan “kegelapan” akibat dosa dan kesalahan yang sering kita perbuat.

Dengan menghadiri majlis doa tersebut saya berusaha mendekati cahaya. Harapan saya tentu saja ingin mendapatkan cahaya yang lebih banyak lagi. Cahaya bagi saya adalah sebuah kebutuhan Apakah sama antara orang yang memiliki cahaya atau penerang dengan yang tidak, ditengah kegelapan dunia yang mencampuradukan antara yang baik dan buruk seperti sekarang ini? Melalui doa tersebut setidaknya kita membuka tirai –tirai kegelapan yang menyelimuti hati. Disinilah makna baru tentang doa yang saya dapatkan.

Dimana pun tempat yang dibacakan doa ini, saya yakin akan menjadi bersinar dan mendatangkan ketenangan dan kedamaian diri (inner space). Menurut kalangan penulis how to situasi tersebut didapat melalui diam, keheningan, dan kesendirian (stillness, silence, and solitude). Situasi spiritual yang sesungguhnya tengah dicari masyarakat modern yang telah kehilangan arah dengan materialisme yang mengabaikan realitas atau pengetahuan diluar pengetahuan inderawi (empirisme) seperti yang didengungkan oleh John Locke (ingat dengan toeri tabularasa – nya), David Hume (dengan human nature – nya) dan para pendukung aliran filsafat realisme lainnya tiga abad silam. Sadar tidak sadar filsafat mereka telah merasuki pemikiran kita, tanpa kita sadari.

Menengok kebelakang 14 abad silam, usai syahidnya Imam Husein as, cucu kesayangan Rasulullah Saaw, yang mengorbankan dirinya demi menyelamatkan agama kakeknya. Salah seorang dari putra beliau yang bernama Imam Ali Zaenal Abidin as yang digelar as – Sajjad mengisi hari – harinya dengan banyak beribadah dan berdoa. Kumpulan do’anya yang demikian indah yang dinamakan as – Shahifah as – Sajjadiyyah kemudian dibukukan dan menjadi salah satu warisan paling penting dari khasanah keilmuan keluarga Nabi.

Berbeda dengan ayahnya, maupun saudaranya, Zaid bin Husein yang melakukan perlawanan - dalam riwayat jenazah beliau kemudian dibakar oleh para musuh Allah. Sementara Imam Ali Zaenal Abidin as, praktis tidak melakukan konfrontasi dengan rezim yang berkuasa. Dalam riwayat kita hanya banyak mendengar mengenai praktik ibadah dan sikap – sikap kedermawanannya kepada para pengikutnya dimasa hidupnya.

Sikap demikian dapat dipahami, mengingat beliau mengetahui betul mentalitas masyarakat pada saat itu yang telah jauh terperosok pada tingkat yang sangat rendah. Memperbaikinya adalah dengan cara memberi mereka sentuhan – sentuhan spiritual yang bisa meningkatkan kesadaran akalnya. Dengan cara inilah orang suci ini mendidik seluruh pengikutnya. Pada masa hidupnya beliau menyaksikan banyak keluarga terdekatnya yang dibantai secara keji oleh para penipu agama yang mengaku mengikuti agama kakeknya. Orang – orang yang berbentuk manusia tetapi sesungguhnya sejatinya mereka adalah hewan – hewan liar berbentuk manusia. Mengadakan perlawanan terhadap tiran yang berkuasa, beliau membutuhkan pengikut yang loyal seperti pengikut ayahnya yang gugur di medan perang Karbala. Namun beliau tidak mendapati pengikut yang demikian setia seperti para syuhada Karbala.

Dalam management strategic tantangan eksternal yang berubah memerlukan strategi yang benar – benar tepat, tidak harus selalu konfrontatif, melainkan disesuaikan dengan apa yang sedang dihadapi (contingetl approach). Kadang buat saya agak absurd kalau kita mengadopsi begitu saja strategi dakwah yang dilakukan oleh Nabi tanpa melihat kontekstualitas dan situasi yang sedang berkembang. Praktik ini dibuktikan oleh strategi dan pendekatan yang berbeda yang dilakukan oleh seluruh Imam dari keluarga Nabi pada masa hidupnya. Strategi Imam Ali as berbeda dengan Imam Hasan as, berbeda pula dengan strategi yang dipilih Imam Huseian as dan para Imam berikutnya. Tujuan (goal) dan cara (startegic) merupakan dua hal yang berbeda. Agak aneh saja jika ada orang mengklaim mengikuti metode dakwah Nabi, namun sebenarnya adalah mereka mengikuti pemahaman mereka terhadap metode dakwah Nabi – ini dua hal yang harus pula dibedakan.

Kelebihan dan keistimewaan doa – doa yang dibawa oleh keluarga Nabi Saaw tidak saja berisi untaian kata – kata indah, namun juga mengandung makna yang sangat dalam mengenai eksistensi tertinggi. Untaian – untaian doa – doa Ahlil Bayt Nabi juga adalah pelajaran tauhid yang menyimpan beragam makna. Kita akan mendapati banyak makna – makna baru bila kita bersungguh – sungguh untuk mendapatkan pengetahuan darinya. Perhatikan salah satu bait indah doa Kumayl dibawah ini:


(anggaplah) aku dapat bersabar menanggung siksa – Mu
Mana mungkin aku mampu bersabar berpisah dari – Mu


Doa dalam pemahaman saya tidak saja dapat mempengaruhi alam realitas (syahadah) yang merupakan alam tingkat rendah, namun doa juga mampu merubah ketentuan – ketentuan yang memang telah menjadi takdir kita. Saya telah menyinggung soal ini pada blog saya terdahulu (lihat blog: Dunia Bukan Panggung Sandiwara).

Hemat saya, doa lebih jauh menjadi salah satu sarana untuk menembus ruang antara alam syahadah (alam material) dan alam malakut (alam metafisika) yang lebih tinggi, yang sesungguhnya sebuah kesatuan (unitas). Itulah sebabnya Imam Khomeini menyebut sholat (yang merupakan bagian dari doa) sebagai mi’raj ruhani dalam perjalanan menuju Allah (sayr wa suluk). Para mukasyaffah (orang – orang yang telah tersingkap hijab realitas) sesungguhnya telah menembus batas ini. Sementara buat kita hal – hal seperti itu seperti sebuah mimpi saja dan angan – angan karena kita masih terbentengi oleh dinding – dinding dosa, kesalahan, dan sifat – sifat buruk yang sangat tebal.

Dalam posisi seperti ini yang dapat saya lakukan adalah terus – menerus berdoa untuk membuka diri agar menerima anugerah ilahi sehingga dapat menembus alam metafisika – dapat merasakan lebur didalam – Nya. Walaupun saya tidak yakin dengan usaha yang saya lakukan untuk meraih hal tersebut – saya terlalu hina untuk mendapatkan hal tersebut.

Dalam perspekti sufi, kasih sayang – Nya bukanlah didapat dari ibadah yang keras, melainkan hakikatnya adalah pemberian dari – Nya. Saya hanya mengharapkan rahmat dan inayah, serta kasih – sayangn – Nya.

Marilah bergabung bersama kafilah Rasulullah Saw melantunkan doa – doa yang biasa mereka baca agar Sang Kekasih membuka tirai – tirai yang membentengi dan menghalangi kita dari – Nya.

Tuhanku hatiku telah tertutupi
Hawa nafsu telah menguasaiku
Akalku telah terkalahkan
Ketaatanku sangat sedikit
Sementara kemaksiatanku demikian banyak
Lisanku penuh dengan kesalahan dan kekotoran – (tercela)
Lalu, bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkannya, wahai Yang Maha Perkasa dan Yang Maha Mengetahui Sesuatu Yang Tak Nampak
Maafkanlah ketercelaan kami seluruhnya
Dengan hak dan kehormatan kesayanganmu, Rasulullah dan Ahlil Bayt – nya.
Terimalah permohonan kami ini

1 komentar: