Selasa, 30 Desember 2008

Dunia Bukan Panggung Sandiwara

Tidak ada sesuatu yang lebih mengganggu dan menyakitkan jiwa seseorang daripada perasaan bahwa ia hidup di bawah bayang – bayang sebuah kekuasaan absolut yang amat kuat dan mencekram segala sesuatu dalam kehidupannya, serta mengarahkannya kemana saja sesuai kehendaknya.

(Muthahhari)

Sudah empat minggu terakhir ini tiap malam Jum’at saya rutin hadir mengikuti Islamic Discussion Forum di ICC (Islamic Cultural Center), di bilangan Warung Buncit, Jakarta. Diskusi ini sesungguhnya ditujukan kepada para ekspatriat atau staf kedutaan asing, dan para profesional yang ingin menambah wawasan mengenai keislaman. Karenanya diskusi itu disampaikan dengan pengantar bahasa Inggris. Temanya pun disesuaikan dengan konsumsi yang relevan dengan mereka. Pembicara yang sempat mengisi diantaranya Haidar Bagir, pimpinan Mizan Group yang mempresentasikan manajemen etis dalam "Corporate Mystics”. Ada juga Dr. Mulyadi Kartenegara, dosen pasca di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Dr. Jalaludin Rahmat, dll. Diskusi ini rencananya diadakan dalam 12 kali pertemuan hingga 5 Mei 2005 mendatang. Saya merasa beruntung dapat menghadiri diskusi yang sangat bermutu ini.

Ada yang menarik dalam salah kesempatan diskusi di pertemuan di ICC tersebut. Hal ini pula yang menjadi latarbelakang saya menulis tema blog kali ini. Dalam salah satu sessi tanya jawab pada tema Dimensions Psychology of Islam oleh Dr. Mulyadi, muncul pertanyaan mengenai takdir oleh salah satu peserta. Dia mempertanyakan mengenai persoalan mengenai kebebasan (free will) dan keterpaksaan (determinisme). Sang penanya, Ayub H Choudry, rekan dari India, mencontohkan sebuah kasus mengenai seorang siswa yang cerdas yang ingin mengikuti ujian akhir. Sebelum siswa cerdas tersebut mengikuti ujian ditengah jalan, ia tertabrak kendaraaan. Akibatnya ia tidak dapat mengikuti ujian dan dinyatakan tidak lulus ujian. Sebab salah satu kriteria lulus adalah mengikuti ujian akhir. Padahal diatas kertas, jika ia dapat mengikuti ujian tersebut dipastikan ia akan lulus.

Lalu Ayub mempertanyakan, apakah peristiwa tabrakan ini adalah sebuah takdir yang tidak bisa dihindari, dan telah menjadi garis tangan hidupnya. Beberapa pertanyaan senada pun muncul dari peserta lain. Sayangnya saat itu Pak Mulyadhi yang menjadi speaker tidak menjawabnya secara eksplisit. Ia hanya mengatakan bahwa hal tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan kebebasan dalam memilih keputusan hidup.

Soal – soal seperti ini pun banyak kita temukan dalam keseharian kita. Bagi beberapa orang persoalan ini bukanlah hal sederhana untuk memahaminya. Bahkan, Muthahhari menyebut persoalan ini sebagai salah satu persoalan filosofis yang cukup pelik. Seorang teman saya juga sempat mempertanyakan hal yang sama. “... benarkah kita dapat mencapai apa yang kita inginkan?”. Teman saya yang lain saat ditanya, “bagaimana keputusannya (dalam salah satu soal)?”. Ia menjawab, “... Belum tahu… nih… bagaimana nanti saja…”, jawabnya. Seorang selebritis yang sedang kasmaran pernah ditanya, bagaimana kelanjutan hubungan dengan pasangannya. Dia menjawab, “… Yah…bagaimana yang diatas saja deh. Kita sich jalaninnya aja. Kalau jodoh juga gak kemana”. Masih banyak lagi pernyataan dengan redaksi yang hampir sama yang menyiratkan besarnya kungkungan pengaruh mengenai nasib yang datang diluar diri manusia, dan ketidakyakinan akan peran manusia dalam menentukan nasib di masa depan.

Dalam teologi Islam soal – soal diatas dikenal dengan istilah qadha dan qadar. Setidaknya ada dua blok aliran pemikiran yang selama bertahun – tahun saling berpolemik dalam dunia Islam. Satu dikenal dengan nama kelompok Jabbariah (pro determinisme) dan satunya adalah Qadariyah (pro free will). Secara singkat, yang pertama meyakini bahwa hidup ini telah Tuhan atur seluruhnya. Paham ini didukung oleh kaum yang menganut paham akidah As’ariyah, sementara yang lain menganggap bahwa Tuhan telah menciptakan aturan dan memberi akal kepada manusia, didukung oleh kalangan Mu’tazilah. Sehingga dalam pandangan kalangan Mu’tazilah, manusia – lah yang menentukan nasibnya sendiri di masa depan. Telah banyak buku ditulis untuk saling memperkuat pandangan di atas dari kedua belah pihak.

Mengingat ruang blog ini sangat terbatas, saya mencoba menyingkat pandangan saya mengenai hal ini. Buat saya, benar Tuhan telah menetapkan segala macam hal aturan dan nasib manusia seluruhnya mulai dari dalam rahim ibu hingga ke liang lahat. Namun disamping itu Tuhan memberikan pula anugerah kepada manusia untuk dapat berkehendak menentukan nasibnya. Dua hal ini sama sekali tidak saling bertentangan.

Benar pula Tuhan telah menetapkan usia, rezeki, dan jodoh serta lainnya, tetapi ini saya yakini tidak tunggal sifatnya. Jika tunggal dan tak ada pilihan, maka sia – sia saja anugerah kebebasan memilih kehendak tersebut. Rasanya sulit diterima akal sehat jika Tuhan berbuat sia – sia terhadap ciptaan – Nya, karena Ia adalah kesempurnaan mutlak. Tak ada yang keluar dari – Nya selain kesempurnaan dan kebaikan. Inilah konsep tauhid yang saya yakini.

Ketetapan Tuhan (qadha) sangat tergantung dengan ukuran – ukurannya (qadar). Dengan kata lain, seluruh ketentuan itu bersanding dengan syarat – syarat tertentu. Seandainya kita telah memenuhi syarat – syarat tersebut, tentu ketentuan itu akan jatuh ke tangan kita. Dengan contoh yang sederhana, misalnya jika kita ingin berhasil dalam sebuah urusan bisnis pertanian (agro). Keberhasilan urusan ini sangat bergantung terhadap sebab – sebabnya misalkan, musim, insektisida dll. Kemungkinan ada beragam sebab keberhasilan. Jika kita dapat memenuhi sebab – sebabnya, maka dipastikan kita akan berhasil dalam bisnis pertanian tersebut. Yang menjadi persoalan adalah sejauhmana kita dapat mengetahui dan mengendalikan sebab – sebab tersebut. Semakin kita mengetahui dan mengendalikan sebab – sebab tersebut, maka semakin besar kesempatan kita dapat mengetahui keberhasilan sesuatu yang kita jalankan.

Sayangnya tidak semua soal kita ketahui dengan mudah sebab – sebab keberhasilannya. Dalam soal – soal yang pelik, umumnya manusia tidak dapat mengetahui seluruh sebab – sebab tersebut. Namun dengan akalnya manusia dapat mempelajari bermacam pengalaman yang telah ditempuh untuk mengetahui sebab – sebab tersebut. Model pendekatan berfikir ala Edward de Bono baik yang lateral atau pun bertingkat sesungguhnya berdasarkan premis ini. Dimana kita mengerjakan sesuatu berdasarkan pengalaman keberhasilan yang pernah kita lewati yang kadang berulang di kemudian hari.

Manusia memiliki keterbatasan mengetahui seluruh sebab keberhasilan dalam persoalan tertentu. Manusia lebih tertarik pada sebab yang lebih eksperimentatif dan empirik. Padahal Islam meyakini sebab keberhasilan tidak saja material sifatnya, namun juga non – material (spritual). Doa misalnya, merupakan salah satu sebab non – material yang mampu menjadi sebab keberhasilan sesuatu. Betapa banyak kita saksikan dengan doa – doa orang terlepas dari segala penyakit kronis dll.

Dengan pemahaman seperti ini kita menjadi dapat memahami fenomena yang berkaitan dengan takdir dihadapan kita. Tentang jodoh misalnya, saya meyakini seseorang dapat menikah dengan siapa saja. Tuhan dalam keyakinan saya telah menetapkan sekian kesempatan kepada kita untuk menikah dengan siapa saja. Tuhan pun tidak pernah memaksa dengan kekuatannya kepada kita untuk menikah dengan orang tertentu – tungggal sifatnya. Kita punya pilihan dan kekuatan untuk memilih menikah dengan siapa saja yang kita inginkan. Sehingga kalimat, “ini mungkin sudah jodoh”, dapat diartikan kita memilih dengan kekuatan dan kehendak kita atas sekian kemungkinan menikah dengan seseorang.

Pada titik ini kita pun dapat memahami bahwa seluruh kemungkinan jalan hidup kita telah terbentang luas. Ada sekian kemungkinan jalan untuk kita dihadapan. Ketika kita memilih sebuah jalan atau kesempatan dari sekian kemungkinan yang tak terbatas tersebut, sesungguhnya kita sedang menuju pada nasib yang telah kita kehendaki dan inginkan. Pada saat saya menulis ini misalnya, saya tahu bahwa setelah ini ada kemungkinan beragam jalan yang selanjutnya akan saya pilih. Saya bersyukur, alhamdulillah bisa dapat share mengenai pandangan – pandangan saya disini. Saya beruntung dengan pilihan menulis di blog ini saya menjadi mendapat kekuatan untuk melangkah ke situasi yang lebih bermanfaat. Mungkin saya akan cenderung untuk membaca atau bersungguh meng – create nasib saya ke depan setelah menulis ini atau kegiatan positif lainnya.

Tentu berbeda halnya dengan orang lain yang pada saat yang sama misalnya melakukan sesuatu yang melanggar. Pada situasi itu sungguh akan sulit bagi dia mendapatkan kesempatan dan perasaan yang sama dengan saya. Pelanggaran yang dibuatnya menjadi sebuah modal negatif untuk dapat berbuat kebaikan. Sebaliknya ia akan cenderung pada perbuatan yang jauh lebih berbahaya. Inilah yang saya pahami dari makna salah satu bait dalam doa Kumayl,” Ya ilahi, ampunilah dosaku yang meruntuhkan penjagaan”. Orang yang berbuat kejahatan sekecil apa pun sesungguhnya telah membuka pintu kepada kejahatan besar lainnya. Begitupun sebaliknya.

Sebagai penutup, kutipan diatas sengaja saya kutip dari buku Manusia dan Agama, dalam bab Pengaruh Takdir Atas Manusia, karya Muthahhari. Bagi saya Muthahhari is one of my hero. Dengan buku – bukunya ia telah membimbing dan mencerahkan pandangan saya mengenai pandangan dunia (world view). Buku itu sendiri merupakan kumpulan dari ceramah – ceramah beliau yang kemudian di sunting kembali menjadi sebuah buku. Saya memiliki beberapa koleksi bukunya. Akibat harga buku yang melonjak, koleksi Muthahhari lain yang belum saya miliki biasanya saya pinjam di beberapa perpustakaan dimana saya menjadi member. Dalam buku tersebut, Muthhari menggugat habis dan menunjukan kelemahan pandangan mengenai determenisme (keterpaksaan) dan free will (kehendak bebas) dalam kaitannya dengan kemampuan manusia menjalani kehidupannya. Muthahari mampu memberikan pandangan moderat mengenai pandangan dua ekstrim diatas.

Ala kulli hal, sayup – sayup terdengar lagunya God Bless yang dinyanyikan oleh Ahmad Albar yang isinya bermuatan pemikiran determinisme (keterpaksaan). Lagu yang menurut saya amat absurd dan bertentangan dengan paham tauhid yang saya yakini terutama tentang Keadilan Tuhan (al – ‘Adl Ilahi). Dalam salah satu syairnya berbunyi:

“Setiap kita punya satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar dan ada peran berpura – pura
Mengapa kita bersandiwara”
(God Bless)

bandingkan,

…Perjalanan hidup memang sudah ditentukan Tuhan
Namun kita tetap punya pilihan
Tak ada kontradiksi diantara kedua proposisi tersebut
Karena ketentuan itu sesungguhnya adalah sebuah ukuran – ukuran (taqdir) yang beragam
Kita tetap memiliki pilihan bebas untuk ketentuan yang kita inginkan
Inilah anugerah Tuhan yang membedakan manusia dengan ciptaan – Nya yang lain
Saat kita memilih sama, sekali tak ada satu pun kekuatan yang memaksa yang menjadi beban
Seandainya ada pun (paksaan) niscaya Ia (Tuhan) akan memakluminya.
(Taufiq Haddad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar