Selasa, 30 Desember 2008

Menuju Eksistensi Tertinggi

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik – baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah – rendahnya

(Q.S. At – Tiin: 4-5)

Menjadi diri sendiri, mungkinkah? Ini pertanyaan sederhana dari seorang teman di salah satu blognya. Menurut saya ada dua hal yang tersirat dari pertanyaan diatas, pertama, bagaimana kita memahami “menjadi diri sendiri”? Saya yakin tidak mudah menjawabnya. Jika kita telah dapat membatasi persoalan ini dengan bingkai paradigma tertentu, maka persoalan kedua yang menyangkut posibilitas akan terjawab. Dengan kata lain mengharapkan jawaban yang universal dari pertanyaan ini relatif sangat sulit terwujud.

Jika yang dimaksud menjadi diri sendiri adalah sebuah proses mengaktualisasikan seluruh potensi yang kita miliki, soal ini menjadi relatif. Artinya, yang diperlukan adalah kita melewati fase – fase hidup yang beragam yang memungkinkan kita mengaktualisasikan apa yang kita miliki. Namun, apakah fase – fase hidup tersebut menjadi jaminan bahwa seluruh potensi kita akan termanifestasi atau mengejawantah dalam kehidupan yang akan kita lewati? Menurut saya tidak juga.

Ada banyak orang yang melewati hari – harinya, namun mereka tetap tidak sadar apakah telah menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya. Pertanyaan selanjutnya yang mendasar adalah, apakah kita sesungguhnya dapat mengetahui seluruh potensi yang kita miliki? Ataukah potensi manusia secara umum adalah terbatas? Lagi – lagi pertanyaan dapat berkembang menjadi lebih kompleks dari soal semula.

Saya ingin melihat soal diatas dari sudut keberadaan (ontologis). Sesungguhnya kita semua adalah mahluk yang diciptakan. Keberadaan kita sangat tergantung dengan sebab yang menghadirkan kita. Secara sederhana mudah dipahami bahwa melalui kedua orang tua, kita lahir dan menikmati udara kehidupan ini. Begitupun kedua orangtua kita, berasal dari rangkaian kakek dan nenek, dan begitu seterusnya hingga manusia pertama, Adam dan Hawa. Disini kita menggunakan hukum sebab akibat (kausalitas) yang merupakan salah satu pengetahuan yang inheren (by presence) yang menetap dalam diri kita selain hukum kontradiksi ataupun identitas. Ketiga inilah yang menjadi pilar rasionalitas manusia. Seluruh pengetahuan yang ada, tidak bisa dilepaskan dari ketiga hukum ini.

Selain manusia, ada banyak mahluk lainnya yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan kita. Ada pengurai, tumbuhan, hewan dan manusia pada tingkat tertinggi mahluk. Dari beragam mahluk hidup yang ada kita mampu mengelompokannya dalam kategorisasi maupun hierarkinya) – dalam biologi dikenal dengan species dan genus. E. F. Schumacher dalam bukunya A Guide for Perplexed (telah dialihbahasan oleh penerbit LP3ES menjadi Keluar dari Kemelut) menyebutnya sebagai hierarki kehidupan (hierarchy of existence). Ia mengurutkan hierarki kehidupan kedalam tingkatan rendah – tinggi mulai dari pengurai, tumbuhan, hewan, hingga manusia. Dalam beberapa tempat saya beberapa kali mengutip pernyataannya, karena menurut saya dia adalah salah seorang ekonom yang sangat concern dengan spiritualitas. Bukunya cukup memberikan panduan bagi siapa saja yang ingin melihat peta kehidupan. Buku Schumacher lainnya yang juga menjadi banyak rujukan adalah "Small is beutiful".

Jika keberadaan mahluk – mahluk tersebut kita namakan sebuah eksistensi, maka yang yang membedakan satu dengan lainnya adalah essensinya (keapaanya – kuiditas). Contohnya, pengurai hanya sebuah mahluk hidup. Ia tidak berkembang dan tumbuh sebagaimana tumbuhan yang merupakan satu tingkat eksistensi diatasnya. Begitupun tumbuhan tidak memiliki daya untuk seperti yang dimiliki hewan yang berada pada eksistensi yang lebih tinggi, dan seterusnya hingga ke atas.

Seluruh keberadaan yang kita pahami adalah sebuah eksistensi seperti pada pengantar untuk blog saya yang terpampang diatas ini. Eksistensilah yang mengikat seluruh keberadaan yang ada. Eksistensi pula yang real (sejati) dan mengikat seluruh fenomena material ataupun immaterial.

Jika ini kita pahami, maka akal kita menyatakan bahwa ada tingkatan eksistensi di muka bumi ini – kita bisa melihat dan merasakannya. Mulla Sadra dalam filsafatnya menyebut tingkatan ini dengan tasykik al – wujud (gradasi eksistensi). Seluruh esksistensi yang tercipta jika kita perhatikan masing – masing menjadi mahluk – mahluk yang menjaga keseimbangan alam raya. Dari fenomena inilah kemudian muncul konsep "harmoni” atau pun dalil keteraturan yang mengacu pada peran Sang Pencipta Agung, dibalik seluruh fenomena lahir ini.

Eksistensi dan essensi keduanya menjadi pengenal identitas dan sekaligus pembeda. Kesamaan antara manusia dan hewan adalah pada keberadaannya (eksistensi), dan yang menjadi pembedanya adalah essensinya. Sehingga kalau ditarik keatas, ada beragam tingkatan eksistensi, dimana manusia merupakan mahluk yang tertinggi eksistensinya.

Disini kita memasuki satu issu “essensi”? Apa essensi manusia sesungguhnya yang membedakan dia dengan mahluk yang berada dibawahnya - hewan. Manusia memiliki intelect atau akal sedangkan hewan tidak. Hewan hanya mengandalkan instingnya dalam mengarungi hidup. Akal inilah yang menjadi pembeda manusia dengan mahluk hewan – sebagai eksistensi yang satu tingkat berada dibawahnya. Dengan akal ini pula manusia dibedakan tingkatan eksistensinya dengan manusia lainnya.

Sehingga sesungguhnya kita bisa mengasumsikan ada jutaan atau bahkan milyaran – sebanyak jumlah manusia yang lahir - tingkatan eksistensi diantara mereka. Sebagaimana ada milyaran pula cara manusia menempuh perjalanan menuju Tuhan – Nya, seperti yang tersirat dalam sebuah hadist bahwa perjalanan menuju Allah sebanyak nafas manusia.

Masing – masing mereka memiliki tingkatan atau kedudukan (maqam) tersendiri. Konsep surga yang bertingkat – tingkat di akhirat nanti bisa dipahami dengan analogi diatas. Kita bisa mengasumsikan bahwa Tuhan merupakan tingkat eksistensi teratas, lalu kemudian para Imam, Rasul, Nabi, ulama dll. Lalu dimanakah posisi kita? Sebuah pertanyan yang memerlukan perenungan lebih dalam – kontemplasi.

Potensi akal adalah tidak terbatas. Melalui akal, manusia bisa naik ke tingkat eksistensi tertinggi. Ia bahkan bisa menyatu dengan yang sang absolut, eksistensi sejati. Inilah perjalanan panjang manusia menuju eksistensi tertinggi yang oleh Mulla Sadra menyebutnya sebagai al – harakatul jauhariyyah (gerak substansial). Sementara dalam bahasanya Suhrawardi yang sangat terkenal dengan filsafat illuminasi - nya (Israqiyyah) menuju puncak cahaya dari tingkatan esensi yang merupakan pancaran cahaya – Nya (emanasi). Suhrawardi merujuk pada salah satu surat dari surat An - Nur yang menggambarkan cahaya Allah.Eksistensi sejati adalah eksistensi yang menjadi sebab awal eksistensi berikutnya (causa prima). Pun sebaliknya, jika manusia tidak menggunakan potensi ini maka manusia dapat berada pada tingkat eksistensi yang setara dengan hewan atau bahkan lebih rendah lagi. Terjadi degradasi eksistensial. Bisa jadi ia manusia, namun sesungguhnya ia tidak lebih seperti hewan yang hanya menuruti instingnya. Akal yang seharusnya membimbingnya menuju eksistensi terkalahkan. Al – Quran secara indah menyitir hal ini seperti kutipan ayat diatas.

Ala kulli hal, alih – alih mempertanyakan menjadi diri sendiri yang menurut saya tidak terlalu penting karena hanya akan menjebak kita masuk pada persoalan – persoalan lain yang lebih mendasar misalnya, siapa manusia sesungguhnya dll. Menurut saya, lebih baik adalah kita berupaya secara terus menerus bekerja keras untuk naik ke tingkat eksistensi yang lebih tinggi. Saya lebih senang menyebutnya “menuju eksistensi tertinggi”. Inilah impian para kekasih – Nya (awliya’) dan kebahagiaan sejati – menyatu dengan realitas sejati.

Bagaimana cara kita meraihnya? Tentu saja dengan mengikuti contoh orang – orang yang telah berhasil melakukannya yang terekam dalam sejarah dan warisan – warisan yang ditinggalkannya, terutama para nabi, rasul, imam dan orang – orang suci. Salam rindu untuk mereka semuanya.

Hal inilah yang menurut saya sesungguhnya diri kita yang sejati. Diri ataupun identitas yang diinginkan oleh sang realitas sejati menghiasi alam – Nya. Dengan kasih sayang – Nya yang tiada henti, Ia selalu mengirimkan petunjuk melalui para Nabi, rasul serta para Imam dan orang – orang yang mengikuti mereka.

Pada satu hari, Muthahhari bertanya pada salah seorang anaknya, “Nak, apa cita – cita kamu nantinya? Ingin menjadi seperti apakah kamu? Lalu anaknya menjawab, “saya ingin seperti ayah?”, jawabnya singkat. Seorang Muthahhari adalah sosok ulama yang benar – benar menjadi pewaris ilmu para nabi. Namun kemudian Muthahhari menganulir jawaban anaknya tersebut, “janganlah nak, namun sebaiknya katakanlah, jadilah kamu atau keinginanmu menjadi seperti Imam Ali as, karena biasanya kita hanya akan dapat meraih atau mengikuti sebagian saja dari orang yang kita ikuti”, jawab Muthahhari.

Jadi kalau ada orang yang bertanya seperti apakah saya yang saya ingini. Saya tidak akan menjawabnya “be yourself’, yang menurut saya amatlah naif. Dalam konteks tertentu kalimat ini bisa saja dibenarkan - dataran praktis, namun tidak pada dataran visi. Sebaliknya saya akan menjawab seperti saran Muthahhari, bahwa saya ingin mengikuti dan menjadi seperti Imam Ali as dan para Ahlil Bayt.

Moga – moga dengan hal ini saya dapat menyerap sebagian saja dari apa yang mereka miliki. Memiliki sebagian saja dari sifat – sifat mereka merupakan karunia yang amat besar. Bukankah nanti diakhirat seperti yang disinyalir dalam sebuah hadist bahwa orang akan bersama dengan orang yang dicintainya. Mengikuti dan meniru (immitatio) mereka adalah salah satu bukti dari kecintaan kita kepada mereka.

Allahumma Shalli ‘ala Muhammad Wa ali Muhammad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar